Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan yang terjadi itu merupakan dampak dari pendudukkan Jepang yang sangat menekan dan sangat memeras. Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama. Kesan seperti itu wajar sekali, terutama karena didasari dari sudut pandang yang merugikan saja. Selain segi-segi merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segi-segi yang menguntungkanpun ada dan dirasakan pula oleh bangsa Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan; terutama yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme Indonesia. Terdapat pula hal-hal yang menguntungkan bangsa Indonesia, sehingga pemahaman dan penyebaran tentang konsep kebangsaan menjadi lebih luas jangkauannya.
Pendudukan Jepang di Indonesia dapat disebut sebagai garis pemisah dalam sejarah Indonesia modern, yaitu sebuah garis yang memecahkan hubungan sosial tradisional pada tingkat lokal serta menyiapkan kondisi bagi terciptanya latar belakang revolusi nasional dan sosial tahun 1945-1949 (Aiko Kurasawa, 1988),. Namun demikian, masa ini sebenarnya dapat dipandang sebagai sebuah masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda dengan masa kemerdekaan (Frederik, 1989). Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun tersebut merupakan satu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia (Ricklefs, 1981). Meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, akan tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan (Frederick, 1986).
Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperialism Jepang di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia (Marwati, 1984). Munculnya imperialisme Jepang ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang penting ialah keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Modernisasi tersebut berimplikasi pada persoalan-persoalan yang sangat kompleks seperti kepadatan penduduk, lapangan pekerjaan, bahan mentah, dan daerah pemasaran hasil produksinya.
Persoalan kepadatan penduduk dan upaya peningkatan produksi pertanian pangan, pada tahun-tahun awal dari pemerintahan Meiji juga menunjukkan suatu pertumbuhan yang terus-menerus dalam produksi pangan. Dengan penduduk yang tumbuh cepat dan mengalami lonjakan dari 33,1 juta pada tahun 1872 menjadi 41 juta pada tahun 1892, dan menjadi 52,1 juta pada tahun 1912. Maka meningkatnya produksi pangan sangat diperlukan untuk melindungi Jepang dari beras dengan kelaparan yang begitu umum pada negara-negara yang terlambat perkembangannya. Fenomena ini pada hakekatnya merupakan suatu pengukuhan pada tahap perkembangan ekonomi modern (Peter Duus,1976).
Sebagai akibat dari kemajuan industri yang pesat di Jepang, ditempuhlah strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru, yang dalam prakteknya juga sebagai sumber bahan pangan. Dalam buku yang berjudul The Rise of Modern Japan, lebih lanjut Peter Duus (1976) menyatakan: bahwa di lain pihak Jepang juga tertarik dalam bidang eksploitasi sumber ekonomi padi dari daerah-daerah yang baru saja dikuasainya untuk mendukung peperangan, bersama-sama dengan minyak, timah, karet, dan barang-barang krusial lainnya.
Imperialisme Jepang didorong pula oleh filsafat Hakko Ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju, mempunyai kewajiban untuk "mempersatukan bangsa-bangsa di dunia dan memajukannya" (Moedjanto, 1992). Ajaran tersebut merupakan dorongan psikologis sekaligus sebagai legitimasi moral politik atas tindakan ekspansionisme Jepang ke wilayah-wilayah lain.
Ajaran hakko Ichiu bagi Jepang bahkan merupakan motivasi "ideologis" (Nugroho Notosusanto, 1979). Itulah sebabnya Jepang dalam imperialisme itu melakukan langkah-langkah kongkrit suatu upaya "pembentukan lingkungan kemakmuran bersama" di kawasan Asia Timur Raya. Setelah dicapai tahap pembentukan lingkungan di kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina dan Manchukuo sebagai tulang punggungnya, kemudian Jepang menempuh langkah politik global yang dikombinasi dengan kekuatan militer yang mencakup negara-negara yang berjauhan seperti Srilangka, Selandia Baru, seluruh Oceania (termasuk Hawai) dan negara-negara kecil di Amerika Tengah.
Menguatnya ambisi militerisme Jepang disamping itu didorong juga oleh konstalasi politik di Jepang sendiri, yaitu adanya kerjasama antara antara kaum kapitalis (Zeibatsu) dengan kaum militer (Gunbatsu). Kerjasama itu terjadi dan semakin kuat ketika pertimbangan minyak dianggap sebagai faktor penting dalam kerangka invasinya di Indonesia (Koen, 1962). Dalam kerangka politik makro, imperialisme Jepang memiliki hubungan erat dengan "dokumen Tanaka", yaitu dokumen tentang rencana ekspansionisme Jepang. Dengan demikian, invasi Jepang ke Indonesia merupakan bagian dari kerangka politik ekspansionisme jepang di asia Tenggara.
Cita-cita Jepang untuk membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikan dengan mencetuskan Perang Asia Timur Raya yang picunya dimulai dengan penyerangan mendadaknya atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada hari Minggu tanggal 7 Desember 1941.
Dalam perhitungan Jepang, serbuan atas kekuatan Amerika Serikat di Pearl Harbour adalah untuk menghancurkan (paling tidak sebagian) kekuatan Amerika Serikat. Sebab dalam perhitungannya kalau tidak dilakukan dengan cara diserang lebih dulu, kekuatan Amerika Serikat yang utuh sewaktu-waktu akan menyerang Jepang. Karena bagimanapun Amerika Serikat pasti akan ikut campur dalam
peperangan yang terjadi.
Sejak serbuannya ke Pearl Harbour tanggal 8 Desember 1941 itu gerakan invasi militer Jepang dengan cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara memang wilayah yang dalam perhitungan Jepang harus diduduki lebih dahulu. Asia Tenggara merupakan daerah yang cukup kaya, sehingga dapat dijadikan benteng logistik untuk mengamankan kekuasaan Jepang. Dengan cara ini Jepang merasa tidak akan tergantung dalam hal apapun kepada pihak lain, khususnya dari Eropa-Amerika. Philipina pada bulan Januari 1942 diduduki dan segera disusul dengan pendudukan Singapura pada bulan Februari 1942, dan selanjutnya giliran Indonesia pada bulan Maret 1942.
Kekuatan invasi Jepang di Jawa menunjukkan jumlah yang lebih besar dari pada jumlah kekuatan pihak Serikat. Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Serbuan-serbuan yang dilakukan oleh Jepang di beberapa tempat di Jawa sejak 1 Maret 1942 tidak dapat dibendung oleh pasukan Belanda yang memang sudah tidak punya kekuatan itu, sampai akhirnya memaksa Belanda untuk segera menyerah. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, di Kalijati tentara dan pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa sayarat kepada Jepang. Sejak itu berakhir pulalah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang di Indonesia.
Jepang tidak hanya ingin mengenyahkan kekuasaan politik bangsa Barat di kawasan Asia Pasifik, melainkan sebagaimana yang dicita-citakannya juga ingin menjadi "Tuan Besar" di Asia Pasifik. Invasi militer atau perang yang dikobarkan oleh Jepang tersebut bagi bangsa Asia Tenggara - khususnya Indonesia - dirasakan sebagai suatu malapetaka baru atau paling tidak dirasakan sebagai suatu penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia; yang peran tersebut selama ini telah dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Rakyat tidak hanya mengalami penderitaan lahiriah karena kekurangan pangan dan sandang yang kemudian mengakibatkan kelaparan dan kematian, tetapi juga penderitaan yang sifatnya rokhaniah (moral). Penjajahan Jepang telah mengakibatkan terobek-robeknya nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula dengan sistem sosial, atau institusi sosial yang ada telah dirunyak. Martabat wanita yang dijunjung tinggi telah menjadi korban langsung kebiadaban tentara-tentara Jepang. Banyak anak gadis yang dengan paksa diambil dari keluarganya dengan bujukan akan disekolahkan ke Jepang, tetapi sebenarnya dibelokkan ke bordil-bordil ataupun ke medan perang untuk dijadikan umpan nafsu kebinatangan tentara-tentara Jepang. Sebagian dari mereka tidak dapat menahan hati dan memilih mati karena malu pulang ke kampung halaman. Perlakuan tentara Jepang terhadap kaum wanita yang dituduh bersalah karena dianggapnya ikut terlibat dalam gerakan bawah tanah lebih tidak manusiawi. Seseorang itu dimasukkan ke dalam tong yang berisi air lalu ditutup, di atas tong itu duduk para pemeriksanya, sehingga tertuduh hampir mati tenggelam, sesudah itu ditelanjangi dan diikat, kemudian diperkosa oleh algojo-algojo itu. Wanita itu dikurung enam bulan lamanya (L.D. Jong, 1987:108-109).
Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas:
- menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia
- memobilisasikan rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Seperti halnya Belanda, Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk itu, suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur melawan Barat. Namun upaya tersebut sering mengalami kegagalan dengan adanya kenyataankenyataan akibat pendudukan Jepang itu sendiri seperti kekacauan ekonomi, teror polisi militer (Kenpeitai), romusha, penyerahan wajib beras, kesombongan, pemukulan-pemukulan, pemerkosaan, serta kewajiban memberi hormat kepada setiap orang Jepang. Kesemua tindakan dan perlakuan tersebut telah menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia yang hampir-hampir tak tertahankan lagi.
Politik imperialisme Jepang di Indonesia terlihat berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam, serta mengupayakan mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Berdasarkan orientasi itulah, Jepang secara ekstensif melakukan eksploitasi ekonomi, penetrasi politik, dan tekanan kultural pada masyarakat Indonesia hingga tingkat pedesaan.
Dalam lapangan politik, pemerintah Jepang mengadakan campur tangan yang sangat dalam pada struktur pemerintahan hingga tingkat pedesaan. Tatanan politik tradisiopnal di pedesaan mengalami keguncangan yang serius. Terjadi depolitisasi atas lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan Jawa. Lembaga-lembaga politik tradisional bukan lagi diarahkan untuk kepentingan politik, melainkan demi kepentingan ekonomi. Perubahan ini berimplikasi pada perubahan dalam segi ekonomi, sosial budaya maupun mentalitas masyarakat pedesaan.
Politik Jepang untuk mengatur ekonomi masyarakat terwujud dalam politik penyerahan padi secara paksa yang berakibat pada kemiskinan endemis, menurunnya derajat kesehatan, meningkatnya angka kematian serta berbagai penderitaan fisik masyarakat pedesaan. Sedangkan untuk mendukung kemenangan perangnya, Jepang telah memobilisasi massa di pedesaan ke dalam pengerahan tenaga kerja (romusha), perekrutan pemuda dan masyarakat desa dalam latihan-latihan kemiliteran.
Perubahan-perubahan sosial itu telah menandai bentuk pendudukan Jepang yang berorientasi ekonomi dengan kebijaan yang sangat menekan dan memeras rakyat. Dengan demikian yang terjadi bukan saja perubahan struktural, melainkan pada aspek-aspek kultural masyarakat di pedesaan Jawa pada waktu itu. Pada umumnya Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politis paling maju, namun secara ekonomi kurang penting, sumber dayanya yang utama ialah manusia (Ricklefs, 1981).
Awal kedatangan Jepang di Indonesia secara umum diterima dan tanggapi dengan baik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan disamping propaganda yang dilakukan secara intensif sebelum mereka tiba, yang dikoordinir melalui Sendenbu (bagian propaganda), juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu mempertahankan prinsip ketenangan dan keteraturan (rust en orde) dengan tindakan-tindakannya yang mengecewakan kaum pergerakan. Disamping itu bagi masyarakat pedesaan di Jawa terdapat kebanggaan terhadap bangsa Jepang yang dapat mengalahkan Sekutu, yang dengan demikian itu membawa pengharapan pulihnya saat-saat normal yang dinanti-nantikannya.
Sikap masyarakat pedesaan Jawa juga dipengaruhi oleh ramalan Jayabaya, yang secara tidak langsung telah mengarahkan pandangan masyarakat untuk menyambut kedatangan "wong kuntet kuning saka lor" yang hanya akan berkuasa di Indonesia "seumur jagung". Kata-kata ini dipahami sebagai suatu keadaan baru akibat perginya Belanda dan datangnya Jepang, dan Jepang akan memerintah dalam waktu yang tidak lama, sesudah itu bangsa Indonesia akan "merdeka". Pemahaman yang berkembang seperti ini telah memberikan harapan akan hari kemudian yang lebih baik. Sartono K. (1985) menyebutnya sebagai motivasi spekulatif teoritis masyarakat Jawa terhadap datangnya masa kebahagiaan.
Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintah Jepang berpegang pada tiga prinsip utama, yaitu:
- mengusahakan agar mendapat dukungan rakyat untuk memenangkan perang dan mempertahankan ketertiban umum;
- memanfaatkan sebanyak mungkin struktur pemerintahan yang telah ada;
- meletakkan dasar agar supaya wilayah yang bersangkutan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri bagi wilayah Selatan (Lapian, 1988).
Oleh karena itu pemerintah Jepang awalnya senantiasa berupaya mencapai keadaan yang stabil, jika tidak bisa memulihkan keadaan seperti yang sebelumnya (status quo ante), paling tidak mendekati seperti itu.
Sejak 9 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh wailayah Hindia Belanda. Dengan segala cara, Jepang menguras kekayaan dan tenaga rakyat itu dengan kekerasan, dengan rayuan, dan sebagainya. Rakyat Indonesia yang sudah jemu terhadap perang dan penjajahan menyambut kedatangan Jepang itu dengan harapan Jepang akan memberikan kedamaian dan kemakmuran. Jepang datang dianggapnya sebagai pembebas penderitaan bangsa Indonesia. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Jepang dengan sebaik-baiknya. Propaganda Jepang segera dilancarkan dan kekuasaan Fascisme Jepang segera ditanamkan dalam menyusun pemerintahan di Indonesia.
- Tentara Ke-16 di pulau Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
- Tentara Ke-25 dipulau Sumatera dengan pusatnya di Bukittinggi.
- Armada Selatan Ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat dengan pusatnya di Makasar.
Pada awal pendudukannya, pemerintah pendudukan Jepang mengambil dua langkah penting, yaitu pertama menstabilkan kondisi ekonomi, yang terlihat dari upayanya untuk menguasai inflasi ekonomi, menetapkan patokan harga bagi sebagian besar barang dan menangani secara keras penimbun barang (Frederick, 1985). Kahin (1980) menyebut langkah ini sebagai langkah menaikkan taraf sosio-ekonomi yang memaksa pemerintah baru itu menjalankannya. Kedua, Jepang pada awal pendudukannya mengalami keadaan berlanjutnya ketidakpastian hukum, sehingga pemerintah Jepang dituntut untuk mengeluarkan aturan produk hukum baru yang disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia.
Terutama di wilayah Jawa, Tentara Keenambelas mengeluarkan Undang-Undang no.1 tanggal 9 Maret 1942. Pasal 1 berbunyi: Balatentara Nippon melangsungkan Pemerintahan Militer untuk sementara waktu di daerah yang ditempatinya agar supaya mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.
Pemerintahan militer Jepang disebut Gunseibu. Di Jawa Barat berpusat di Bandung; Di Jawa Tengah berpusat di Semarang; dan Jawa Timur berpusat di Surabaya. Daerah Surakarta dan Yogyakata dijadikan daerah Istimewa (Koci). Para pejabatnya disamping orang Jepang, juga dibantu oleh orang-orang Indone-sia. Misalnya di Jawa Barat Mendampingi Gubernur Kolonel Matsui didampingi oleh R. Pandu Suradiningrat. Sebagai wakil Gubernur dia dibantu oleh Atik Suardi. Di Jakarta, H. Dahlan Abdulah untuk sementara diangkat sebagai kepala Pemerintahan daerah. Jabatan polisi diserahkan kepada Mas Sutandoko. Di Jawa Tengah, Gupernur dijabat oleh Letnen kolonel Taga. Pendamaianya Rd. Muhammad Chalil, sebagai wakil Gubernur, dan Salaman menjadi sebagai Residen.
Selanjutnya sejak 1 April 1942 Dikeluarkan peraturan Kepegawaian. Di samping itu usaha Men-Jepang-kan Indonesia mulai dilaksanakan diseberluaskan kepada penduduk. Cara yang paling Awal untuk men-jepang-kan itu ada memasang bendera Hinomaru pada hari-hari besar Jepang, dan menyayikan lagu Kebangsaan Jepang Kimigayo pada setiap upacara negara. Di samping bangsa Jepang mulai diajarkan disekolah-sekolah. Begitu tarikh Sumera dari Jepang digunakan dalam sistem penanggalan di Indonesia. Hari lahirnya Kaisar Hirohito harus dirayakan setiap tahun (Hari Raya Tencosetu). Untuk alat pembayaran, mata uang Hindia Belanda yang digunakan.
Dalam aspek politik pemerintahan, berdasarkan berita pemerintah nomor 14 bulan Maret 1943, dibentuk 8 bagian pada pemerintah pusat dan memberikan tanggungjawab pengelolaan ekonomi pada syu. Pemerintah daerah pada masa pendudukan Jepang diaktifkan kembali untuk memperkuat dukungan terhadap kebutuhan ekonomi perang.
Karesidenan (syu), berdasarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Karesidenan (Syu) dan Tokobetsu Si secara prinsip telah mengarahkan pada pengaturan ekonomi. Swasembada penuh dalam bidang ekonomi dengan demikian telah dipaksakan secara halus pada setiap syu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Selama itu pula syu telah menjadi pembatasan yang berdaya guna bagi Jepang dalam mengekang perkembangan berbagai organisasi di Indonesia (Anthony Reid, 1985).
Dengan kaum nasionalis diadakan kerjasama dengan tujuan bersatu dan berdiri sepenuhnya dibelakang Jepang, serta memperlancar pekerjaan Gunseibu. Di samping itu Jepang menyuruh kaum nasionalis untuk turut aktif di dalam pemerintahan Gunsei. Di dalam pemerintahan Gunsei ini munculah tokoh Ir. Sukarno.
Dalam peartemuan dengan pihak Jepang di Bukuttinggi, Ir. Sukarno tidak akan dihalang-halangi dalam membina ke Indonesia Merdeka. Pertemuan antara Moh Hatta dengan Ir. Sukarno mengambil keputusan mengesampingkan perselisihan pahamnya jaman Partidon dan PNI Baru dan bersatu memimpin rakyat Indonesia di dalam masa sulit itu. Persatuan antara keduanya itu kemudian dikenal dengan sebutan Dwi Tunggal Sukarno-Hatta.
Kerjasama Ir. Sukarno dengan pihak Jepang dimulai dalam suatau Komisi yang menyelidiki Adat Istiadat dan Tata Negara yang dibentuk oleh Gunsei pada 8 November 1942. Komisi beranggotakan 13 orang Jepang serta pimpinan politik dan sosial bangsa Indonesia, seperti: Moh. Hatta, Sutarjo Kartohadikusumo, Abikusno Cokrosuyoso, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro, Prof. Husein Joyodiningrat, Dr. RNg, Purbocaroko, Mr. Supomo. Dari anggota tersebut dikenal sebagai Empat serangkai adalah: Ir. Sokarno, Moh.Hatta, KH. Mas Mnsyur dan Ki Hajar Dewantoro. Empat serangkai itu diberi kepercayaan untuk memimpin gerakan Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang dibentuk pada 9 Maret 1943. Pembentukan putera itu adalah atas usul Ir. Sukarno.
Tujuan Putera ialah mempersatukan rakyat Jawa untuk menghadapi serangan Sekutu yang semakin dekat dengan Indonesia (Jawa). Pembukaan Kantor Putera pada tanggal 26 April 1943. Somuboco (Kepala Departemen Urusan Umum) menegaskan tugas Putera ialah: menggerakan Tenaga dan Kekuatan rakyat untuk memberi bentuan kepada usaha-usaha untuk mencapai kemenangan akhir dalam Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian Jepang dapat menggunakan para pemimpin Indonesia untuk menanamkan kekuasaannya. Sebaliknya para pemimpin Indonesia juga tidak mau begitu saja diperalat oleh pemerintah Jepang. Mereka mencoba menggunakan sarana dari Jepang itu guna tetap memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Campur tangan pemerintah pendudukan Jepang bukan saja pada lembaga-lembaga politik di pusat dan daerah saja, melainkan pada lembaga tradisional di pedesaan, yang berupa indoktrinasi dan depolitisasi lembaga politik di pedesaan serta penciptaan lembaga-lembaga politik baru yang memudahkan proses pengawasan oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah pendudukan Jepang mengadakan pengaturan terhadap distribusi barang-barang yang dianggap penting untuk kepentingan perang seperti besi, tembaga, kuningan dan sebagainya yang diatur dengan Osamu Seirei nomor 19 tahun 1944 tentang mengatur pembagian tembaga tua dan besi tua (Kan Po No. 41 April 1944).
Sesuai dengan kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk susunan perekonomian baru di Jawa, dilakukan politik penyerahan padi secara paksa oleh pemerintah Jepang terhadap petani-petani di pedesaan Jawa. Dasar-dasar politik beras Jepang pada awalnya adalah sebagai berikut (Kurasawa, 1988):
- Padi berada dibawah pengawasan negara, dan hanya pemerintah yang diijinkan melakukan seluruh proses pungutan dan penyeluran padi.
- Para petani harus menjual hasil produksi mereka kepada pemerintah sebanyak kuota yang ditentukan dengan harga yang ditetapkan.
- Harga gabah dan beras ditetapkan oleh pemerintah.
Namun demikian sebagai akibat terputusnya hubungan komunikasi antara pemerintah di Jepang dengan daerah-daerah di wilayah Selatan, maka setiap wilayah harus memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri. Implikasinya adalah bahwa sejak itudiberlakukannya pungutan padi secara wajib yang dibebankan kepada petani di pedesaan Jawa. Kebijakan inilah yang sekaligus membawa perubahan-perubahan mendasar pada pola hidup masyarakat petani pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang.
Untuk memenuhi kepentingan perang, pemerintah pendudukan Jepang bahkan mengupayakan pengerahan tenaga kerja untuk menangani proyek-proyek pertahanan dan perang bukan hanya di wilayah Indonesia sendiri, melainkan di seluruh Asia Tenggara seperti di Philipina, Singapura, Siam, dan Birma. Tenaga kerja itulah yang sering disebut romusha, yakni tenaga kerja sukarela atas tekanan pemerintah Jepang untuk menangani pekerjaan-pekerjaan kasar bagi kepentingan perang Jepang.
Perlakuan-perlakuan yang kasar dan tidak manusiawi seperti kurangnya makan, tidak adanya jaminan kesehatan, sangat beratnya pekerjaan dan perlakuan yang semena-mena dari bala tentara Jepang telah berakibat pada penderitaan rakyat yang berkepanjangan, ketakutan sosial, kegelisahan komunal serta munculnya perasaan tidak aman.
Sebagai bagian dari politik terhadap pemanfaatan sumber daya manusia, pemerintah pendudukan Jepang melakukan mobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program-program latihan semi militer. Tujuan utamanya sebenarnya adalah sebagai tenaga cadangan bagi kepentingan militer Jepang.
Mobilisasi massa rakyat dalam Seinendan, Keibodan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (Peta) telah mendorong rakyat memiliki keberanian, sikap mental untuk menentang penjajah, pemahaman terhadap kemerdekaan maupun sikap mental yang mengarah pada terbentuknya nasionalisme.
B. STRATEGI PERGERAKAN MASA PENDUDUKAN JEPANG
Masa pendudukan Jepang di Indonesia merupakan satu periode yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Meskipun merupakan pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, tetapi ini merupakan suatu masa peralihan, di mana dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan. Pergerakan nasional Indonesia sebagai keseluruhan telah mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Sedang sebagian lain di bawah komando Syahrir membentuk suatu jaringan "bawah tanah".
Meskipun terdapat beberapa nuansa dalam interpretasi, agaknya telah diterima sebagai suatu fakta di kalangan luas bahwa pasukan Jepang disambut dengan baik oleh orang Indonesia pada umumnya ketika mereka melakukan invasi ke kepulauan Indonesia dalam dua atau tiga bulan pertama tahun 1942 Nugroho Notosusanto (1979). Yang lebih penting bahwa Pergerakan nasional Indonesia sebagai keseluruhan telah mengambil sikap yang sedikit banyak kooperatif di bawah pimpinan tokoh senior pada waktu itu, yaitu Soekarno dan Moh. Hatta. Hal ini sangat menarik karena kedua tokoh senior tersebut selama ini terkenal sebagai non-kooperator yang gigih selama pemerintahan kolonial Belanda.
Selain propagandanya yang menarik, sikap Jepang pada mulanya menunjukkan kelunakan karena berbagai kepentingan. Tetapi hal ini tidak lama, karena Jendral Imamura sebagai penguasa tertinggi (Gunsireikan kemudian Seiko Sikikan) Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa mulai mengubah politik lunaknya dengan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang berisi tentang larangan terhadap segala macam pembicaraan, pergerakan dan anjuran atau propaganda dan juga pengibaran sang Saka Merah Putih serta menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang sudah diijinkan sebelumnya (Mudjanto, 1992). Dengan demikian praktis semua kegiatan politik dilarang. Dan tidak hanya berhenti disitu, pemerintah Jepang kemudian secara resmi membubarkan semua perkumpulan organisasi-organisasi politik yang ada dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru untuk kepentingan mobilisasi rakyat.
Sejak semula Islam tampak menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi rakyat. Pada akhir bulan Maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (Shumubu). Pada bulan April 1942 usaha pertama untuk gerakan rakyat yaitu "Gerakan Tiga A" dimulai di Jawa yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, seorang nasionalis yang kurang terkenal. Di dalam gerakan tersebut pada bulan Juli 1942 didirikan suatu sub seksi Islam yang dinamakan Persiapan Persatuan Umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso.
Secara umum Gerakan Tiga A ini tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya dan dinilai kurang berguna. Para pejabat Indonesia hanya sedikit yang mendukungnya, tidak ada seorang nasionalis Indonesia terkemuka yang terlibat di dalamnya, dan sedikit orang Indonesia yang menanggapinya secara serius. Sejak itu pihak Jepang menyadari bahwa apabila mereka ingin memobilisasikan rakyat, maka mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis. Minat terhadap kerjasama dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka semakin besar setelah Jepang terpukul dalam pertempuran laut Karang 7 Mei 1942. Jepang harus memberi konsesi makin besar kepada bangsa Indonesia agar makin besar pula kesediaan bangsa Indonesia untuk memberikan kerjasamanya.
Dalam kerangka perjuangan dimasa pendukan Jepang yang bersituasi semacam itu, tokoh-tokoh nasionalis mulai mengambil sikap dalam kerangka strategi perjuangannya. Hatta dan Syahrir yang telah bersahabat lama, memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang (Mavis Rose, 1987/1991). Hatta akan bekerjasama dengan Jepang dan berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka serta memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Syahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan "bawah tanah" yang terutama didukung oleh para mantan anggota PNI Baru. Soekarno yang telah dibebaskan oleh Jepang dari Sumatra segera bergabung dengan Hatta, yang kemudian segera mendesak kepada Jepang untuk membentuk suatu organisasi politik massa di bawah pimpinan mereka (Ricklefs, 1992: 303).
Para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia tidak saja percaya terhadap janji-janji Jepang dengan semboyan Tiga A-nya. Mereka sangat hati-hati dalam menghadapi penjajah baru itu. Akan tetapi bangsa Indonesia tidak begitu saja dapat mengusir penjajah Jepang sebab kondisinya masih lemah. Sukarno-Hatta misalnya menyadari bahwa jalan yang dapat ditempuh adalah dengan kerja-sama. Kerja sama itu hanyalah sebuah alat untuk mempercepat proses kemerdekaan Indonesia yang telah lama diperjuangkan.
Dalam setiap kesempatan para pejuang bangsa Indonesia selalu menggembleng semangat cinta tanah air di dalam hati sanu bari rakyat Indonesia. Lembaga-lembaga yang diciptakan oleh Jrpang seperti Java Hookokai, Putera, Peta, Funjinkai, dan sebagainya justru menjadi sarana memupuk semangat kebangsaan. Hal itu tentu memudahkan jalan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Telah sedikit disinggung di muka, bahwa dalam menghadapi penjajahan Jepang, para pejuang Indonesia memiliki strategi dan cara-cara yang tidak sama. Ada yang mau bekerja sama sambil berjuang untuk kemerdekaan, tetapi ada yang menolak kerjasama. Disamping golongan yang mau bekerja sama dengan pemerintah, ada beberapa kelompok pejuang untuk mencapai kemerdekaan pada masa pendudukan Jepang. Kelompok-kelompok pejuang tersebut yaitu:
- Kelompok Syahrir. Golongan ini adalah pendukung demokrasi Parlementer model Eropa barat. Golongan ini memiliki pengikut kaum pelajar di pelbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, Cirebon, garut, Semarang, dsb. Syahrir menentang Jepang karena merupakan negara Fasis. Mereka berjuang dengan cara sembunyi-sembunyi atau dengan strategi gerakan "bawah tanah".
- Kelompok Amir Syarifudin. Kelompok ini juga anti Fasis dengan menolak sama sekali kerja sama dengan Jepang. Ia sangat keras dalam mengkritik Jepang sehingga ia ditangkap pada tahun 1943 dan dijatuhi hukuman mati tahun 1944. Atas bantuan Sukarno, hukumannya diubah menjadi hukuman seumur hidup. Setelah Jepang menyerak dan Indonesia merdeka tahun 1945, ia bebas dari hukuman.
- Golongan Persatuan Mahasiswa. Golongan ini sebagian besar berasal dari kedokteran di jakarta. Pengikutnya antara lain: J. Kunto, Supeno, Subandrio. Kelompok ini juga anti Jepang dan bekerja sama dengan golongan Syahrir.
- Kelompok Sukarni. Yang termasuk golongan ini adalah: Adam malik, pandu Wiguna, Chaerul Saleh, Maruto Nitimihardjo, dsb. Kelompok ini sangat besar peranannya di sekitar proklamasi kemerdekaan.
- Golongan Kaigun. Anggotanya bekerja pada Angkatan laut Jepang. Akan tetapi secara terus-menerus menggalang dan membina kemerdekaan. Mereka memiliki hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Angkatan laut Jepang yang simpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Termasuk dalam kelompok ini adalah; Mr. Akhmad Subardjo, Mr. Maramis, Dr. Samsi, Dr. Buntaran Martoatmodjo. Kelompok Kaigun ini mendirikan asrama Indonesia Merdeka. Ketuanya Wikana, sedangkan para pengajarnya antara lain: Ir. Sukarno, Drs. Muh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Kelompok ini juga bekerjasama dengan kelompok bawah tanah yang lain. Hanya saja dengan cara yang hati-hati untuk menghindari kecurigaan Jepang.
- Pemuda Menteng. Kelompok ini bermarkas di gedung Menteng 31 Jakarta. Mereka kebanyakan pengikut tan Malaka dari partai Murba. Tokoh terkemuka dari kelompok ini adalah: Adam malik, Chairul Saleh, dan Wikana.
Sekalipun para pejuang Indonesia itu terbagi dalam kelompok-kelompok dan menerapkan strategi yang berbeda, namun itu bukan berarti perpecahan. Mereka hanya berbeda dalam taktik, tetapi tujuannya sama yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Mereka yang bekerja sama dengan Jepang memanfaatkan kesempatan itu untuk menggembleng diri sebagai persiapan pada masa kemerdekaan kelak kemudian hari. Mereka yang dapat menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan, militer, dan jabatan lain pada masa Jepang justru sebagai latihan untuk diterapkan pada masa kemerdekaan nantinya. Sementara itu mereka yang menentang secara terang-terangan terhadap Jepang dapat mengoreksi kekejaman tentara Jepang dalam menindas rakyat Indonesia. Menjelang kemerdekaan Indonesia mereka lebih bersikap berani untuk menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa menunggu persetujuan Jepang.
Awal tahun 1943 usaha kearah mobilisasi mulai memberi prioritas tinggi terhadap gerakan-gerakan pemuda. Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan) dibentuk pada bulan April 1943. Korps ini mempunyai cabang-cabang sampai ke desa-desa, meskipun yang aktif terutama di daerah perkotaan. Kemudian disusul dengan pembentukan Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai organisasi polisi, kebakaran, dan serangan udara pembantu. Demikian juga dibentuk Pasukan Pembantu (Heiho) sebagai bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia.
Kemudian dibentuk Jawa Hokokai (kebangkitan Rakyat Jawa) pada 1 maret 1944. Pimpinan tertinggi adalah Gunseikan, sedang Ir. Sukarno manjabat sebagai Komon (penasehat). Jawa Hokokai merupakan hasil peleburan dari Fujinkai (perkumpulan Kaum Wanita), Masyumi (Majelis Sura Muslim Indonesia), Kakyo Sokai (Perhimpunan Cina); Taiku Kai (Perkumpulan Oleh Raga); Keimin Bunka Syidosyo (Himpunan Kebudayaan), dan sebagainya.
Propaganda Jepang dilancarkan terus; Misalnya Gerakan Tiga A: Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Semboyan: Jepang dan Indonesia sama-sama; Asia untuk bangsa Asia; kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan sebagainya bertujuan menarik simpati rakyat Indonesia untuk membantu Jepang menyelesaikan perang Asia Timur Raya. Disamping itu pula dibentuk Pemuda Asia Raya dibawah pimpinan Sukarjo Wiryopranoto. Pemuda Asia Raya ini kemudian diganti namanya menjadi Seinendan, pada tanggal 29 April 1942. Organisasi ini bekerjasama dengan Putera dibawah pimpinan Empat Serangkai Indonesia.
Pengerahan tenaga rakyat untuk kepentingan perang terus ditingkatkan. Untuk membantu polisi dibentuk Keibodan yang terdiri dari para pemuda yang belum termasuk Seinendan. Tenaga -tenaga laki-laki dari desa-desa dikerahkan untuk melakukan kerja paksa sebagai Romusha. Mereka bekerja untuk membangun benteng, jalan, jembatan, gedung-gedungn pemerintahan, dan sebagainya. Mereka dipekerjakan di Jawa maupun di luar Jawa, bahkan sampai diluar Indonesia. Banyak di antara mereka yang mati kelaparan, kelelahan, penyakit, siksaan para mandor, dan sebagainya. Banyak diantaranya yang tidak kembali lagi kekampung asalnya.
Selanjutnya kaum wanita digerakan dalam Fujinkai pada 3 Nopember 1943. Mereka ini dipekerjakan di garis belakang, di depur-dapur umum, Kesehatan (PPPK), dan sebagainya. Anak-anak sekolah dilatih olah raga perang Kinhorosi.
Dalam bidang kebudayaan, siasat Jepang untuk memainkan dan menanamkan kebudayaan Jepang di Indonesia, dilakukan bersama -sama dengan menggiatkan kebudayaan Indonesia untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Terutama seni sastra dan kesenian mendapatkan perhatian Khusus. Para ahli bahasa membentuk Komisi bahasa Indonesia dengan berusaha memperkaya perbendaharaan bahasa. Nama-nama kota dan jalan-jalan diganti dengan nama Indonesia sepanjang ada ijin dari pemerintah Jepang. Misalnya: Batavia diganti Jakarta; Buitenzoerg diganti dengan Bogor; Meeter Cornelis diganti Jatinegara; dan sebagainya. Nama-nama Jawatan diganti dengan bahasa Jepang. Maka nampaklah bahasa Jepang akan Me-Nippon-kan Indonesia. Lagu Kebangsaan Jepang kimigayo dinyayikan di samping lagu kebangsaan Indonesia: Indonesia Raya. Latihan-latihan diadakan untuk melatih pegawai di berbagai jawatan untuk menguisi Nipponseisin (semangat Jepang). Guna mempergiat semangat belajar bahasa Jepang, diberikan tunjangan-tunjangan istimewa kepada mereka yang telah menunjukan kecakapannya berbahasa Jepang dalam tingkatan dai-tji (dasar), dai-ni (menengah), dai-san (atas), dai-jon (tinggi), dan dai-go (lanjut).
Sementara itu sejak 1943 golongan As (Jerman dkk) menderita kekalahan dimana-mana. Antara lain di Italia, Mussolini jatuh dan digantikan oleh Pietro Badoglio (26 Juli 1943). Di Jerman, Hitler jatuh pada 7 Mei 1945. Jepang mulai cemas terhadap serangan balasan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Rusia, Tiongkok, dan Australia) yang semakin gencar di Pasifik. Beberapa pangkalan Jepang di Jawa mulai dibom oleh Sekutu. Misalnmya Surabaya.
Menghadapi itu semua, maka Jepang cepat-cepat memberikan kemerdekaannya kepada negara-negara yang telah direbutnya.: Birma (1 Agustus 1943), Pilipina (14 Oktober 1943). Sedang kepada bangsa Indonesia diberi kesempatan untuk bersuara berupa usul-usul. Maka dibentuklah Tjiho Sangi Kai (semacam Dewan Daerah), Tjuo Sangi In (semacam Dewan Rakyat) dengan Ir. Sukarno sebagai Gitjo (ketua), dan RMAA Kusumoutoyo dan dr. Buntaran Martaatmaja sebagai Fuku Gitjo (wakil ketua). Tjuo sangi In dibuka pada 16 Oktober 1943 dan beranggotakan 43 orang. Kewajibannya memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Saiko Sikikan dan mengajukan usul-usul. Beberapa orang Indonesia diangkat menjadi Sjutjokan dan Fuku Sjutjokan.
Perang Pasifik semakin mendesak kekuatan Jepang. Untuk itu Jepang sangat membutuhkan bantuan dari daerah-daerah yang didudukinya. Maka berdasarkan keputusan sidang Parlemen ke-82 di Tokyo, yang dikemukakan oleh Perdana Menteri Tojo, perlu dibentuk berisan semi-militer dan militer di Indonesia. Psukan ini kemudian dikenal dengan nama Tentera Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) (Boei Giyugun). Pembentukan Peta ini mula-mula diusulkan oleh R. Gatot Mangkuprojo melalui suratnya yang ditunjukan kepada Gunseikan Pada 7 September 1943. Tanggal 3 Oktober 1943 Letnan Jendral Kumakici Harada mengeluarkan aturan pembentukan Peta itu. Beberapa orang Indonesia mulai dilatih kemiliteran. Dan Akhirnya tanggal 22 Nopember 1943 diresmikan pembentukan Peta itu.
Disamping Peta, juga penduduk diikutsertakan membantu perang. Tanggal 8 Januari 1944 diperkenalkan tonarigumi (rukun Tetangga). Tiap kelompok terdiri dari 10-20 rumah tangga. Beberapa Tonarigumi itu dilatih pencegahan terhadap bahaya udara, kebakaran, pembratantasan mata-mata musuh dan penyampaian iktisar pemerintah militer kepada penduduk, menganjurkan penambahan hasil bumi, dan berbakti kepada pemerintah militer di bidang lain.
Atas permintaan para pemimpin Indonesia, seperti R. Gatot Mangkupraja, KH Mas Mansyur, dan Ir. Sukarno, dibentuklah Tentera Pembela Tanah Air (Peta) pada 3 Oktober 1943 seperti tersebut diatas.
Dalam waktu 6 bulan dilatihlah calon-calon daidantjo (kepala pasukan) dan Sjodantjo (kepala regu). Mereka ini kemudian melatih calon-calon perajurit-perajurit (Peta) di bawah pimpinan dan pengawasan opsir Jepang. Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia. Tidak seperti Heiho, Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang, melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionalisme Indonesia dimanfaatkan dalam penggemblengan para anggotanya.
Disamping Peta, Jepang juga membentuk Heiho (Pembentu tentera). bila Peta bertugas membela daerahnya masing-masng, maka Heiho bertugas membantu Jepang apabila diperlukan. Untuk mempersatukan rakyat dibentuk Tonarigumi, Ku. Mereka ini dilatih dalam pencegahan bahaya udara, dan sebagainya.
Melalui Peta maupun Heiho tersebut, pemuda-pemuda Indonesia dilatih kemiliteran yang sangat berguna untuk menghadapi serangan-serangan Baelanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah Jepang menyerah pada sekutu.
Pada bulan Maret 1943 Gerakan Tiga A dihapuskan dan digantikan dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Badan ini berada dalam pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi ketuanya diangkat dari orang-orang terkemuka Indonesia pada waktu itu, yaitu: Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansur. Dalam beberapa kesempatan tokoh-tokoh ini dapat memanfaatkan tugas-tugas mereka ketika keliling dan berpidato di depan massa. Kesempatan itu digunakan untuk menanamkan semangat nasionalisme kepada setiap pemuda dan orang Indonesia. Namun demikian, gerakan ini hanya mendapat sedikit dukungan dari rakyat. Salah satu sebabnya adalah karena Jepang tidak bersedia memberi kebebasan kepada kekuatan-kekuatan rakyat yang potensial dan membatasi ruang gerak tokoh-tokoh utamanya.
Mengingat tahun 1944 pihak Sekutu mulai mendapatkan kemenangam-kemenangannya diberbagai medan pertempuran terhadap Jepang. Pada Pebruari 1944 Kepulauan Marshall dan Karolina dapat direbut Sekutu. Dalam situasi gawat ini, Jepang berusaha memperkuat garis belakang dengan membentuk satu organisasi besar yang didukung oleh seluruh rakyat Jawa. Dibentuklah Jawa Hokokai (Himpunan kebangkitan rakyat Jawa) pada 1 Maret 1944. sebagai ganti dari Putera. Soekarno sangat berhasil dalam memanfaatkan propaganda Jawa Hokokai ini untuk memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. Jawa Hokokai menjadi lebih efektif dikarenakan memiliki alat organisatoris yang menembus sampai ke desa-desa. Rukun Tetangga (Tonari Gumi) dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk yang terdiri dari sepuluh sampai duapuluh keluarga untuk tujuan mobilisasi.
Di kota-kota besar, terutama Jakarta dan Bandung, para pemuda yang berpendidikan mulai menggalang jaringan-jaringan bawah tanah, yang dalam banyak hal ada di bawah pengaruh Syahrir (Ricklefs, 1992: 310). Mereka tahu bahwa posisi Jepang di dalam perang mulai memburuk, dan mereka mulai menyusun rencana-rencana untuk merebut kemerdekaan nasional dari kekalahan yang mengancam Jepang tersebut.
Sementara itu kemenangan Sekutu di Eropa maupun di pasifik seperti di Sailan, Gauam, Marina, megakibatkan perubahan politik Jepang. Kabinet Tojo jatuh pada 18 Juli 1944 dan digantikan dengan kabinet Kaiso pada 22 Juli 1944. Supaya mendapatkan bantuan sepenuhnya dari rakyat Indonesia, Kabinet Kaiso menjanjikan Dokutitzu (kemerdekaan) kepada Indonesia di kemudian hari. Rakyat Indonesia pada masa pendudukan Jepang itu sangat menderita. Disamping penghisapan tenaga rakyat untuk kepentingan perang, Jepang juga menguras kekayaan alam Indonesia. Janji Kemakmuran bersama adalah Janji kosong. Rakyat Indonesia mulai menyadari akan hal ini. Sebab yang terjadi adalah kelaparan dan tanpa pakaian. Sawah ladang tidak dipelihara, karena tenaga laki-laki dikerahkan untuk Romusha. Kekayaan penduduk diambil untuk kepentingan perang. Apabila melawan, maka Kempeitai (polisi militer Jepang) siap untuk memberikan hukuman berat. Akibatnya ekonomi rakyat menjadi rusak berat. Gerakan Awas mata-mata musuh (MMM) diperhebat. Setiap orang yang dicurigai akan ditangkap dan disiksa oleh Kempetai sampai mati atau cacat seumur hidup. Sejak 20 Desember 1944 diadakan gerakan pengumpulan emas dan permata milik penduduk. Katanya untuk keperluan perang dan untuk memperoleh kemenangan akhir.
Akhirnya karena tidak kuat lagi menerima penderitaan itu, berontaklah para pemuda. Misalnya Di Tasikmalaya, Indramayu, Singapura, Banten, dan sebagainya. Pemberontakan terhebat terjadi pada 14 Pebruari 1945 yang dilakukan oleh anggota-anggota Peta dibawah pimpinan Supriyadi. Namun semua pemberontakan itu dapat ditindas dengan kejam oleh Jepang.
Tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso Kuniaki menjanjikan kemerdekaan bagi "Hindia Timur" (T0-Indo). Akan tetapi, tidak menentukan kapan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji tersebut dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan terima kasih. Bendera Indonesia boleh dikibarkan lagi di kantor-kantor Jawa Hokokai. Selain itu juga mulai dibentuk kelompok-kelompok pemuda dan militer baru, seperti Barisan Pelopor dan Barisan Hisbullah.
Awal tahun 1945 keadaan Jepang semakin kritis. Beberapa daerah pendudukannya telah dapat direbut Sekutu. Untuk meredakan hati rakyat yang mulai bergolak melakukan pemberontakan-pemberontakan, Jepang meningkatkan penerangan-penerangan bahwa kemerdekaan Indonesia akan di berikan di kemudian hari.
Sejak itu pula semakin banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pejabat pemerintahan. Sejak bulan November 1944 orang-orang Indonesia mulai diangkat menjadi wakil residen. Para penasehat (sanyo) dihimpun ke dalam semacam majelis tinggi (Dewan Sanyo, Dewan Penasehat).
Mereka mengakui perlunya memperoleh jasa baik dari pihak Indonesia, karena bagaimanapun mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Sementara itu upaya menegakkan jasa baik itu mengalami berbagai kesulitan. Pada bulan Februari 1945 Peta di Blitar menyerang gudang persenjataan Jepang dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Jepang mulai merasa takut bahwa mungkin mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan militer Indonesia yang telah mereka ciptakan sendiri. Perasaan takut itu menjadi semakin kuat ketika pada bulan Maret 1945 angkatan bersenjata serupa di Birma berbalik melawan mereka. Menyadari hal itu, maka pihak Jepang memutuskan untuk mulai menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia.
Sementara itu Pilipina dapat direbut Sekutu setelah terjadi pertempuran hebat di Semenanjung Leyte (1944) dan Luzon (1945). Kemudian Jepang di Asia Tanggara semakin teracam. Untuk menghadapi segala kemungkinan, maka Jepang membentuk Pasukan Berani mati (Jibaku-tai). Pemuda-pemuda dari Madiun dan Surabaya banyak masuk menjadi anggota pasukan berani mati ini. Sedikit demi sedikit, pasukan Sekutu semakin mendekati Jepang Asli. Iwo Jima dapat direbut (16 Maret 1945), kemudian Okonama (21 Mei 1945). Disamping itu kini Jepang berperang Sendirian, sebab sekutunya: Italia (1944) dan Jerman telah menyerah kepada Sekutu (7 Maret 1945).
Setelah Sekutu dapat menduduki Tarakan dan Balikpapan, Jepang dalam Usaha memperolaeh dukungan sepenuhnaya dari rakyat Indonesia, membentuk Dokuritzu Zyoombi Tsooskai (Badan Penyelidik USaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia = BPUPKI) sebagai langkah awal dari janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang. Tugas ini ialah menyelidiki dan mengupulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk Indonesia merdeka. Badan ini didirikan pada 29 April 1945. Susunan pengurusnya terdiri dari sebuah badan perundingan dan kantor tatausaha. Badan Perundingan terdiri dari seorang Kaico (Ketua), 2 orang Fuku Kaico (Wakil Ketua), 60 orang Lin (Anggota), termasuk 4 orang golongan Cina dan Golongan Arab serta seorang Golongan peranakan Belanda.
Dibadan tersebut terdapat 7 orang anggota Jepang. Mereka ini duduk sebagai pengurus Istimewa yang akan menghadiri sidang-sidang, tetapi mereka ini tidak mempunyai hak suara. Sebagai Kaico adalah dr, KRMT Rajiman Wediodiningrat, sebagai Fuku Kaico pertama dijabat olah orang Jepang yakni Syucokan Cirebon dan R. Surowo (Syucokan, Kedu) sebagai Fuku Kaico kedua. RP Surasa diangkat pula sebagai kepala Sekretariat Dokuritzu Zyoombi Tsoosakai dengan dibantu oleh Toyohiko Masuda dan Mr. AG Pringgodigdo.
Sementara itu di Bandung pada 16 Mei 1945 telah diadakan konggres pemuda seluruh Jawa dengan dipelopori oleh angkatan Muda Indonesia sebagai Pemuda Pelopor. Kanggres itu dihadiri oleh utusan-utusan pemuda, pelajar, dan mahasiswa seluruh Jawa. Antara lain: Jamal Ali, Chaerul saleh, Anwar Cokroaminoto, dan Harsono Cokroaminoto, serta para mahasiswa IKA Daigaku Jakarta. Konggres itu bertekad bersatu untuk mempersipkan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia bukan sebagai hadiah Jepang.
Setelah tiga hari bersidang, akhirnya dicapai dua resolusi: pertama, semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda dipersatukan dan di bulatkan dibawah satu pimpinan nasional; dan kedua, dipercepatnya pelaksanaan kemerdekaan Indonesia.
Disamping itu di putuskan bahwa konggres menyatakan dukungannya dan bekerja sama yang erat dangan Jepang untuk mencapai kemenangan akhir. Keputusan terakhir ini tidak memuaskan pemuda. Maka sebagai imbangannya, pada 3 Juli 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia yang dihadiri sekitar 100 orang pemuda. Pertemuan pemuda ini membentuk panitia khusus yang diketahuai oleh BM Diah dengan anggota Sukarni, Sudiro, Syarif Thoyeb, Harsono Cokroaminoto, AIkana, Chaerul Saleh, F. Gultom, Supeno, dan Asmara Hadi.
Pertemuan rahasia diadakan lagi pada 15 Juni 1945 yang hasilnya membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yang kegitannya sebagian besar, digerakan olehn Pemuda Asrama Menteng 31. Tujuan mereka tecantum dalam surat kabar Asia Raya yang terbit pada pertengahan Juni 1945. Tujuannya lebih radikal, yaitu: pertama, mencapai persatuan kompak antara seluruh golongan masyarakat Indonesia; kedua, menanamkan semangat revolusioner masa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat; tiga, membentuk negara Kesatuan Repuublik Indonesia; Keempat, mempersatukan Indonesia bahu mambahu dengan Jepang, tetapi bila perlu gerakan tersebut bermaksud untuk mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Dalam perkembangan selanjutnya, Angkatan Baru Indonesia, pendapat-pendapatnya dapat mempengaruhi usaha-usaha untuk membantu tercapainya negara Indonesia merdeka. Para pemuda seperti: Chaerul Saleh, Sukarni, BM Diah Asmara Hadi, Harsono Cokroaminoto, Alkana, Sudiaro, Supeno, Adam Malik, SK. Trimurti, Sutomo, dan Pandu Wiguna (Karta Wiguna) ikut serta dalam Gerakan Rakyat Baru yang mendapatkan ijin pendiriannya oleh Syaiko Syikikan Letnan Jendral Y. Nagano di dalam pertemuan tanggal 2 Juli 1945.
Gerakan Rakyat Baru bertujuan mengobarkan semangat cinta tanah air dan semangat perang. Anggotannya terdiri seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan dan ras. Jepang mengijinkan pendirian Gerakan Rakyat Baru itu berlatar belakang dapat mengawasi gerakan pemuda Indonesia. Gerakan itu sepenuhnya harus tunduk kepada Gunseibu (pemerintah militer Jepang). Dengan kebebasan bergerak dibatasi. Gerakan Rakyat Baru diresmikan baru tanggal 28 Juli 1945. Didalamnya tergabung pula Jawa Hokokai dan Masyumi. Sikapnya Loyal kepada Jepang. Maka para pemuda yang berjiwa radikal tidak mau manjadi pengurus organisasi tersebut. Misalnya: Chaerul Saleh, Harsono Cokroaminoto, Sukarni, Asmara Hadi, dan sebagainya. Sehingga akhirnya nampaklah adanya perselisihan antara golongan tua yang setia kepada Jepang dengan golongan pemuda, tentang cara pelaksanaan berdirinya negara Indonesia.
C. PERUBAHAN-PERUBAHAN AKIBAT PENDUDUKAN JEPANG
Pendudukan Jepang telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya di Jawa. Tekanan-tekanan yang bersifat politis terhadap lembaga-lembaga politik tradisional maupun lembaga politik legal telah menghancurkan tatanan sistem politik di pedesaan. Di samping itu pemerasan sumber daya ekonomi masyarakat pedesaan dilakukan secara intensif, bahkan diikuti dengan pengawasan yang ketat dan pembentukan lembaga ekonomi baru di pedesaan. Pengawasan sosial diberlakukan dengan pembentukan organisasi-organisasi sosial yang diarahkan untuk mengadakan kontrol terhadap aktivitas masyarakat, serta tekanan-tekanan mental dan agitasi yang dilaksanakan pemerintah pendudukan Jepang secara terus menerus.Untuk memahami keadaan sosiologis masyarakat dalam perspektif historis secara lebih utuh, dijelaskan konfigurasi sosio-historis masyarakat pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang dalam konteks perubahan sosial yang diakibatkan proses pendudukan itu. Berikut ini satu-persatu aspek perubahan tersebut akan dibahas.
PERUBAHAN DALAM ASPEK POLITIK PEMERINTAHAN
Kedatangan balatentara Dai Nippon di Indonesia segera diikuti oleh perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem hukum. Hal itu dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan di bawah pendudukan Jepang, meskipun dalam hal ini Jepang terlihat untuk berupaya mempertahankan sistem yang sudah ada.
Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 yang berisi antara lain hal-hal sebagai berikut:
Pasal 1 : Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer semen-tara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera;
Pasal 2 : Pembesar Balatentara memegang kekuasaan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu tetap di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda;
Pasal 3 : Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer;
Pasal 4 : Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang (Kan Po, Nomor Istimewa, 1942).
Undang-undang tersebut secara tegas menggariskan bahwa diberlakukannya pemerintahan militer untuk sementara waktu dan jabatan Gubernur Jenderal dihapuskan dengan diganti oleh tentara Jepang di Jawa. Pemerintahan sipil dengan Undang-undang tersebut tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan. Perbedaannyaialah bahwa pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah.
Namun demikian, pada tanggal 5 Agustus 1942 pemerintahan Jepang mengeluarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetu-Syi pada tanggal 7 Agustus 1942. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut maka berakhirlah pemerintahan yang bersifat sementara dan berlakulah pemerintahan pendudukan jepang di Indonesia. Dalam struktur pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang tersebut terdiri atas Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku (Kan Po, Nomor 2, September 1942).
Dalam hierarki struktural sistem pemerintahan daerah di Jawa masa Jepang adalah sebagai berikut:
Karesidenan (Syu) dalam sistem ini merupakan lembaga yang mandiri dan otonom dalam hal pengelolaan ekonomi. Terdapat hal yang berubah dalam fungsi dan kekuasaannya. Dinyatakan oleh Marwati Djonet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984:14) sebagai berikut: Meskipun luas daerah Syu sama dengan karisidenan dahulu namun fungsi dan kekuasaannya berbeda. Residentie dulu merupakan daerah pembantu Gubernur (resident), sedangkan syu merupakan pemerintah daerah yang tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang Syukan yang kedudukannya sama dengan Gubernur Jendral.
Struktur yang diciptakan itu dimaksudkan untuk memaksimalkan eksploitasi dan mobilisasi sumber daya hingga di tingkat pedesaan. Dengan demikian dalam kacamata Jepang terjadi peningkatan peran lembaga-lembaga politik tersebut.
Terdapat ambivalensi yang kuat dalam Undang-undang Pemerintahan daerah tersebut. Aturan yang secara prinsip harus mengatur kehidupan politik namun justru secara prinsip harus mengatur kehidupan ekonomi. Selain itu dalam pelaksanaan pemerintahan, Pangreh Praja dengan aturan itu menyandang kekuasaan langsung atas rakyat, tetapi mereka lebih terikat erat dengan kontrol kuat pemerintah pusat.
Campur tangan pemerintah Jepang terhadap korps Pangreh Praja bahkan merupakan bentuk-bentuk penetrasi politik dan depolitisasi terhadap lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan. Pelatihan-pelatihan dan indoktrinasi dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam kerangka membentuk konsep dan gaya pemerintahan Jepang. Sedangkan "politik imbalan dan hukuman" yang dilakukan pemerintah Jepang dalam kombinasi yang cerdik dalam bentuk pemecatan, pemindahan, pengangkatan, dan pemberian hukuman terhadap Pangreh Praja diarahkan untuk menyingkirkan orang-orang dalam pangreh Praja yang anti Jepang, bersikap kompromis terhadap Barat atau bergaya keningratan.
Pelatihan indoktrinasi politik dan moral dilaksanakan secara terstruktur dan teratur serta dilembagakan setelah tahun 1944. Dalam Asia Raya tanggal 13 januari 1944 diberitakan bahwa pada bulan Juni 1943 di Gambir Timur Jakarta diselenggarakan kegiatan pelatihan guncho. Pelatihan tersebut diikuti oleh 83 guncho dari seluruh Jawa dan Madura, yang dilaksanakan sejak tanggal 12 Januari 1944 dan dilaksanakan selama tiga minggu (Asia Raya, 13 Januari 1944).
Sedangkan kursus pelatihan pertama untuk soncho dimulai tanggal 14 Juli 1944 selama sebulan (Asia Raya, 17 Juli 1944). Materi yang diberikan dalam pelatihan itu adalah (Asia Raya, 18 Januari, 1945):
- pendidikan moral
- kebudayaan Jepang
- pemerintahan daerah
- politik
- pertanian
- kesehatan
- pendidikan
- gizi
- perekonomian rakyat,
- transportasi
- peraturan-peraturan yang menyangkut pejabat pemerintah.
Dalam tatanan kehidupan politik tradisional di tingkat pedesaan, pemerintah Jepang dengan orientasi ekonominya telah melanggar batas-batas otonomi pemerintahan desa. Kepala desa bagi masyarakat merupakan simbol pengayom yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan ketentuan dan kriteria tertentu secara demokratis. Tetapi pada masa pendudukan Jepang, proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa dilakukan melalui serang-kaian prosedur seleksi dan tes yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan Jepang. Dengan demikian pada masa itu kepala desa dilibatkan langsung dalam struktur pemerintahan administrasi Jepang dengan aturan-aturan yang dipaksakan.
Untuk memperlancar proses kepentingan ekonomi di pedesaan dan sekaligus mengontrol tindakan-tindakan rakyat, pemerintah Jepang membentuk lembaga baru yang dinamakan tonarigumi (rukun tetangga).
Sebagai akibat dari ketatnya kontrol pemerintah, maka kepala desa memiliki banyak tugas dan kewajiban. Kewajiban-kewajiban itu adalah:
- pemungutan pajak
- peningkatan standar hidup rakyat
- memimpin keibodan dan seinendan
- memilih dan mengangkat hak suara Sangikai (dewan penasehat setempat)
- pengelolaan koperasi, akuntansi masjid, memberikan penerangan dalam hal kesehatan
- menyampaikan informasi ke atas dan ke bawah (Aiko Kurasawa, 1993:453).
Disamping tugas tradisional tersebut, kepala desa memiliki kewajiban-kewajiban menjalankan:
- tuntunan dalam meningkatkan produksi padi (pertanian)
- pengawasan penanaman tanam-tanaman baru
- pengumpulan padi
- perekrutan romusha
- mengorganisasikan korps tenaga sukarela
- mengawasi nogyo kumiai
- memimpin keibodan sebagai komandan unit desa
- memimpin cabang Hokokai desa dan sebagainya.
Perubahan-perubahan struktural telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik, pemerintahan dan sikap masyarakat terhadap lembaga politik. Dalam posisi sistem pemerintahan pendudukaan, rakyat hanyalah sebagai obyek politik dan segala kepentingan politik yang dibebankan kepadanya. Dalam kalimat lain, pada saat itu masyarakat pedesaan merupakan obyek eksploitasi dan penetrasi demi kepentingan pemerintah pendudukan Jepang
PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI
Bentuk eksploitasi ekonomi yang berimplikasi terhadap perubahan sosial ekonomi secara mendasar pada masa pendudukan Jepang di Jawa ialah diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa. Logika politik ekonomi ini didasarkan pada kebutuhan bahan pangan yang makin meningkat bagi tentara Jepang di front-front pertempuran.
Selain itu akibat dari terputusnya komunikasi antara pemerintah Jepang dengan daerah-daerah Selatan sebagai akibat buruknya kondisi masa itu, telah menyebabkan daerah-daerah harus mencukupi sendiri kebutuhan ekonominya. Sehingga Syu harus mampu mengelola kebutuhan ekonominya sendiri. Apalagi kenyataan bahwa antara permintaan dan target penyetoran padi tidak sebanding. Di Karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan Maret 1944 dari target setoran sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton atau hanya sekitar 46,7 % dari target. Bahkan dari April sampai dengan September 1945 dari total target 80.000 ton, hanya dipenuhi 17.464 ton atau hanya sekitar 21,8 %.
Selain disebabkan oleh target setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah karena faktor produksinya. Pada tahun 1944 terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan tahun 1941. Kemungkinan lain ialah faktor kesulitan pengankutan dan buruknya tempat penyimpanan sehingga padi menjadi rusak dan membusuk.
Itulah sebabnya dalam sidang Chuo Sangiin pada bulan Nopember 1944 dibahas langkah-langkah untuk mengintensifkan penyerahan padi bahkan langsung ke desa-desa. Untuk itu dibentuk nogyo kumiai (koperasi pertanian) sebagai lembaga di pedesaan yang diharapkan dapat memaksimalkan hasil pertanian. Kepala Desa (kucho) bertanggungjawab terhadap target setoran hasil padi tersebut, sedangkan operasionalnya diserahkan melalui kumicho.
Proses eksploitasi ekonomi tersebut terlihat akibatnya secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal dipahami bahwa perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani Jawa menurut James C. Scott (1989:4-20) ialah petani yang subsisten, yaitu ia sekaligus merupakan satu unit produksi dan konsumsi. Sehingga masalah yang dihadapi oleh petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk makan sekeluarga, untuk membeli barang kebutuhan dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar.
Implikasi dari penyerahan wajib tersebut ialah meningkatnya angka kematian dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Bahkan keadaan sosial serta tingkat kesejahteraan sosial yang sangat buruk sebagai akibat kelangkaan bahan pangan.
Angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. Di Kudus misalnya angka kematian mencapai 45,0 perseribu (permil) sedangkan yang tertinggi adalah di Purworejo dan Wonosobo yang mencapai 42,7 dan 53,7 perseribu. Angka-angka tersebut telah menunjukkan kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk. Pola makan yang berubah, pola hidup yang bergeser serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun psikologisnya.
Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Sedangkan dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional.
Akibatnya adalah berkembangnya kegelisahan komunal dan ketidaktentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa pada masa pendudukan Jepang berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh James C. Scott disebut sebagai "subsistence level", yaitu tingkat pemenuhan diri sendiri. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah berapa banyak yang diambil. Pemikiran yang digunakan ialah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir.
PERUBAHAN MENTALITAS MASYARAKAT
Kerangka pendudukan Jepang di Jawa selain untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi, juga untuk menciptakan landasan pasok ekonomi yang penting untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Untuk itu dalam rangka meningkatkan hasil produksi selain dilakukan melalui bidang produksi juga melalui peningkatan infrastruktur sehingga hal itu memerlukan dukungan sumber daya manusia.
Jawa memiliki surplus tenaga kerja yang dapat digunakan sebagai sumber daya potensial dan merupakan sumber tenaga kerja yang penting di Asia Tenggara (Aiko Kurasawa, 1993:124). Oleh Ricklefs, dinyatakan bahwa Jawa merupakan daerah yang secara politis paling maju, yang sumber daya utamanya adalah manusia (Ricklefs, 1992:297).
Dengan keadaan seperti itu masyarakat pedesaan Jawa merupakan sumber daya tenaga kerja yang banyak diambil untuk menangani proyek-proyek pembangunan fisik, seperti benteng-benteng pertahanan, lobang-lobang pertahanan, jembatan, pelabuhan maupun tempat-tempat penyimpanan bahan makanan. Tenaga kerja secara paksa (romusha) itu dipekerjakan seperti di Banten, Jakarta, Surabaya, Singapura, Philipina, Siam, dan Birma.
Perlakuan yang tidak manusiawi dari tentara Jepang terhadap romusha serta ketiadaan jaminan sosial serta kesejahteraan menyebabkan beribu-ribu romusha meninggal dengan mengenaskan dan tak kembali. Keadaan yang sangat buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan penduduknya untuk berangkat menjadi romusha. Sehingga berkembang menjadi ketakutan kolektif dan kegelisahan komunal.
Masyarakat desa tidak berani untuk menentang perintah tentara Jepang di satu sisi namun tidak menginginkan berangkat sebagai tenaga paksa Jepang. Akhirnya terjadi kekerdilan mental sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras. Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial maupun kultural saat itu telah menciptakan kondisi masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan.
Praktek-praktek romusha merupakan bentuk yang sangat nyata dari praktek eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Hal itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat di Indonesia yang sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem pendudukan yang bersifat militer tersebut.
Barangkali tidak ada yang dapat diambil keuntungan dari kasus-kasus romusha bagi masyarakat pedesaan Jawa waktu itu. Secara kongkrit tampak adalah proses penetrasi dan eksploitasi sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Dengan kondisi seperti itu dapat dipahami seberapa tinggi kualitas sumberdaya manusia pedesaan Jawa waktu itu.
Demikianlah paparan tentang materi dasar, selanjutnya agar Anda dapat lebih mudah untuk mengingat, memahami, dan mendalami keterkaitan tersebut, kerjakanlah latihan-latihan berikut ini.
DAFTAR PUSTAKA
Frederick, William H. 1986. "Pendudukan Jepang", dalam Colin Wild dan Peter Carey. Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Kahin, George McTurnan. 1980. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terj. Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pengajaran Malaysia.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers.
Moedjanto, G. 1992. Indonesia Abad Ke-20 Dari Kebangkitan Nasional sampai Linggajati. Yogyakarta: Kanisius.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Poesponegoro, Mawarti Djoned dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 1981. A History Of Modern Indonesia. Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Rose, Mavis. 1987. Indonesia Merdeka. Biografi Politik Mohammad Hatta. Terj. Hermawan Sulistyo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.
Surjomihardjo, Abdurrachman. 1979. Pembinaan Bangsa dan Masalah Historiografi. Jakarta: Idayu.
Suyatno. 1988."Pemberontakan Anak Buah Kapal Zeven Provincien Tahun 1933". Prisma. Jakarta: LP3ES
Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika pergerakan Kebangsaan Indonesia. Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wild, Colin dan Peter Carey (Peny.). 1986. Gelora Api Revolusi Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.
Nama:Hafis Rizaldi
BalasHapusKelas:XI IIS 3
Nama:Andreas tobing
BalasHapusKelas:XI IIS 3
Nama:Robeka
BalasHapusKelas:XI Ips 2
Nama:Dea imut
BalasHapusKelas:XI IIS 2
Nama:Dea imut
BalasHapusKelas:XI IIS 2
Nama:Dea imut
BalasHapusKelas:XI IIS 2
Nama:sonyya
BalasHapusKelas:XI IPS1
Nama : Aloisius
BalasHapusKelas:Xl ips3
Nama: Aurelia Ardita merli
BalasHapusKelas : Xl ips3
NAMA: CANDRA
BalasHapusKELAS: XI IPS 1
Nama:Sela giovani sadeta
BalasHapusKelas:XI IPS1
Nama:Sela giovani sadeta
BalasHapusKelas:XI IPS1
Nama: Rosita mulyani
BalasHapusKelas: XI ips 2
Nama :Hendrik Sugiarto
BalasHapusKelas: XI IPS 1
Nama:vivi ayu prastiwi
BalasHapusKelas:XI IPA 3
Nama:Ismail
BalasHapusKelas:XI ips 2
Nama:Nobertus Libero
BalasHapusKelas:XI IPA3
Nama:Ismail
BalasHapuskelas:XI ipa 2
Nama:Ismail
BalasHapuskelas:XI ips 2
Nama : Putri Laura Rohmahwati
BalasHapusKelas : XI MIA 3
Nama:Maychel Pardenis
BalasHapusKelas:Xl MIA3
Nama:Belko
BalasHapusKelas:xl MIA 3
Nama:Maychel Pardenis
BalasHapusKelas:Xl MIA3
Nama:Maychel Pardenis
BalasHapusKelas:Xl MIA3
Nama:Ayup putwanto
BalasHapusKelas:XI IIS 1
Nama:Ayup purwanto
BalasHapusKelas:XI IIS 1
Nama:AHMAD FAUZAN EFFENDI
BalasHapuskelas:XI MIA 3
NAMA:DIAN SAFITRI
BalasHapusKELAS:XI IPS 3
NAMA:DIAN SAFITRI
BalasHapusKELAS:XI IPS 3
NAMA:DIAN SAFITRI
BalasHapusKELAS:XI IPS 3
NAMA : RAMA GUSTIANSYAH
BalasHapusKELAS : XI IPS 2
Nama:PEGI PEBIOLA
BalasHapusKelas:XI IPS2
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama:Nandar juliansah
BalasHapusKelas: XI MiA 3
ANGGA DOMEOS MANGGARA
BalasHapusXI IPA 3
ANGGA DOMEOS MANGGARA
BalasHapusXI IPA 3
Nama :Tira
BalasHapusKelas:XI IPS 1
Nama:Nadia
BalasHapusKelas:XI IPS 1
Nama:Nadia
BalasHapusKelas: XI IPS 1
Nama :Nuri Astriani
BalasHapusKelas:XI IPS 1
Nama:Rando
BalasHapusKelas:XI IPS 3
Nama: Fransiska
BalasHapusKelas:Xl IPS 3
Nama:Bela Santika
BalasHapusKelas: Xl ips1
NAMA:TEO VERNANDO PAUYONO
BalasHapusKELAS:XI IPA 3
NAMA:FITA AGUSTINA
BalasHapusKLS:XI IPS2
Nama:rama guustiansyah
BalasHapusKelas: XI IPS 2
Nama : Irfan Ajikusuma
BalasHapusKelas : XI IPA 3
Nama:Feri
BalasHapusKelas:XI IPS 2
NAMA :lisa anggreyni
BalasHapusKelas:XI IPS 2
NAMA :berry yoselanda
BalasHapusKelas:XI ips 1
Nama : Satria Ergi Esyandra
BalasHapusKelas : XI Mia 3
NAMA:Prisila Manda Margaretha
BalasHapusKELAS:XI IPA 3