Jumat, 17 April 2020

PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN TAHUN 1945-1949

A. PERISTIWA SEKITAR PROKLAMASI KEMERDEKAAN 

PEMBENTUKAN BPUPKI DAN PPKI

Memasuki awal tahun 1944, kedudukan Jepang dalam perang Pasifik semakin terdesak. Angkatan Laut Amerika Serikat dipimpin Laksamana Nimitz berhasil menduduki posisi penting di Kepulauan Mariana. Kemenangan Sekutu ini memberi kesempatan untuk melakukan serangan langsung ke Kepulauan Jepang. Sementara posisi Angkatan Darat Amerika Serikat yang dipimpin oleh Jenderal Douglas Mac Arthur melalui siasat loncat kataknya berhasil menguasai Pantai Irian dan membangun markas di Holandia (Jayapura). Dari Holandia inilah Jenderal Douglas Mac Arthur menyerang Filipina (Moedjanto, 1989).

Kepada bangsa Indonesia, pemerintah militer Jepang masih tetap meyakinkan bahwa Jepang akan menang dalam perang Pasifik. Pada tanggal 18 Juli 1944, Perdana Menteri Hideki Tojo terpaksa mengundurkan diri dan diganti oleh Perdana Menteri Kaiso Kuniaki. Dalam rangka menarik simpati bangsa Indonesia, pada tanggal 19 September 1944 PM Kaiso Kuniaki mengeluarkan janji kemerdekaan kelak kemudian hari bagi bangsa Indonesia. Janji kemerdekaan ini sering disebut dengan istilah Deklarasi Kaiso (Nasution, 1978).

Pada tanggal 1 Maret 1945 Panglima Tentara XXVI Letnan Jenderal Kumakici Harada, mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang berpusat di Jakarta untuk daerah kekuasaan Tentara XXVI dengan Ketua Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Sementara itu, di daerah kekuasaan Tentara XXV, juga dibentuk BPUPKI yang berpusat di Bukit Tinggi dengan Ketua Mohammad Sjafei (Bahar, 1991).
Walaupun dalam penyusunan keanggotaan berlangsung lama karena terjadi tawar menawar antara pihak Indonesia dan Jepang, namun akhirnya BPUPKI berhasil dilantik 28 Mei 1945 bertepatan dengan hari kelahiran Kaisar Jepang. Adapun anggotanya berjumlah 67 orang dengan ketua Dr. K.R.T. Radjiman Widiodiningrat dan R. Panji Suroso dan seorang Jepang sebagai wakilnya Ichi Bangase ditambah 7 anggota Jepang yang tidak memiliki suara.

BPUPKI dan PPKI

Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 di gedung Chou Sang In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada sidang pertama, Dr. KRT. Rajiman Widyodiningrat selaku ketua dalam pidato pembukaannya menyampaikan masalah pokok menyangkut dasar negara Indonesia yang ingin dibentuk pada tanggal 29 Mei 1945.

Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengadakan pertemuan, dari pertemuan tersebut direkomendasikan Rumusan Dasar Negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Setelah piagam Jakarta berhasil disusun, BPUPKI membentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Ini merupakan sidangnya yang ke-2 pada tanggal 10 - 16 Juli 1945. Panitia ini diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 19 orang. Pada sidang tanggal 11 Juli 1945, Panitia Perangcang UUD membentuk panitia kecil yang beranggotakan 7 orang.

Pada tanggal 14 Juli 1945 dalam rapat pleno BPUPKI menerima laporan panitia perancang UUD yang dibacakan Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut tiga masalah pokok yaitu; pernyataan Indonesia merdeka, pembukaan UUD, dan batang tubuh UUD. Konsep pernyataan Indonesia merdeka disusun dengan mengambil tiga alinea pertama Piagam Jakarta, sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya diambil dari alinea keempat Piagam Jakarta. Hasil kerja Panitia Perancang UUD akhirnya diterima oleh BPUPKI. Setelah selesai dengan tugasnya BPUPKI dibubarkan dan dibentuk lembaga baru yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)/Dokuritsu Jumbi Inkai pada 7 Agustus 1945 (Anshari, 1997).

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka diberitahu bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu, di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945 (Reid, 1987).

Dua hari kemudian, Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, tanggal 14 Agustus 1945 jam 13.15. Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah (Mulyana, 2008).

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI (Kartodirdjo, 1977).

PERISTIWA RENGASDENGKLOK

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta baru kembali ke tanah air setelah memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi yang berkedudukan di Saigon, Vietnam. Para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Baru segera mengadakan pertemuan setelah mendengar berita kekalahan Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 pukul 08.00 malam, para pemuda berkumpul di ruang belakang Laboratorium Bakteriologi. Para pemuda bersepakat bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hak dan masalah rakyat Indonesia yang tidak bergantung kepada bangsa atau negara lainya (Moehkardi, 2012).

Persoalan ini tidak mendapat tanggapan dari golongan pemuda dan mereka tetap pada prinsip semula, sehingga terjadilah perbedaan pendapat mengenai masalah kemerdekaan antara golongan tua dengan golongan muda. Perbedaan pendapat itu mendorong para pemuda untuk membawa Soekarno-Hatta (golongan tua) ke Rengasdengklok (kota kawedanan di sebelah timur Jakarta) tanggal 16 Agustus 1945, agar jauh dari pengaruh pemerintah pendudukan Jepang. Rengasdengklok dipilih karena berada jauh dari jalan raya utama Jakarta-Cirebon. Di samping itu, mereka dengan mudah dapat mengawasi tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat (Kowani, 1978).

Penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok merupakan realitas dan kesalahan perhitungan politik semata-mata berdasar sentimen. Golongan pemuda dikuasai emosi revolusioner-romantik, sementara golongan tua yang disebut kolaborator oleh golongan pemuda tetap dikuasai rasio untuk dapat mencapai tujuan bersama. Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok sehari penuh, dengan menempati rumah milik warga masyarakat keturunan Tionghoa yang bernama Jo Ki Song. Para pemuda berupaya menekan kedua pemimpin bangsa Indonesia itu agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan tentara Jepang (Suhartono, 2001).

Saat itu, di Jakarta sedang terjadi perundingan antara Ahmad Subardjo (mewakili golongan tua) dengan Wikana (mewakili golongan muda). Dari perundingan itu tercapai kata sepakat bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilaksanakan di Jakarta. Di samping itu, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumah kediamannya dijadikan sebagai tempat perundingan dan bahkan ia bersedia menjamin keselamatan para pemimpin bangsa Indonesia itu. Akhirnya Soekarno-Hatta dijemput dari Rengasdengklok. Sebelum berangkat ke Rengasdengklok, Ahmad Subardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawanya bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. Dengan jaminan itu, Komandan Kompi Sudancho Subeno bersedia melepas Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta beserta rombongan untuk kembali ke Jakarta (Sudiyo, 2004).

PENYUSUNAN TEKS PROKLAMASI

Pada pertemuan tanggal 16 Agustus 1945 malam di Gedung Imam Bonjol No. 1 (sekarang Perpustakaan Nasional, Depdiknas)., hadir para anggota PPKI dan tokoh pemuda seperti Soekarni, Chaerul Saleh, Sayuti Melik dan BM. Diah, sedangkan Sutan Sahrir menolak hadir (Moehkardi, 2012). Dalam pertemuan tersebut sempat timbul diskusi antara Sukarno-Hatta dan Soekarni dalam merumuskan bunyi teks proklamasi kemerdekaan. Soekarni mula-mula menyodorkan konsep proklamasi menurut versi pemuda.

Pada awalnya, panitia kecil menawarkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh semua anggota PPKI, namun Chaerul Shaleh tidak setuju sebab PPKI diangkat oleh Jepang. Ir. Soekarno menyarankan kepada seluruh yang hadir itu agar menandatangani naskah Proklamasi sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia. Saran Ir. Soekarno itu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dengan mengambil contoh pada Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) yang ditandatangani oleh 13 utusan dari negara-negara bagian. Namun usul tersebut ditentang oleh seorang tokoh golongan pemuda yaitu Sukarni. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani naskah Proklamasi adalah Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni itu diterima dengan baik oleh para hadirin. Setelah mendapat persetujuan, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik sesuai dengan naskah tulisan tangannya yang telah mengalami perubahan-perubahan yang telah disepakati (Badrika, 2006). Naskah proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik itulah yang dinilai sebagai naskah proklamasi yang autentik, dan dibacakan saat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.Naskah proklamasi asli tulisan tangan Ir. Sukarno dengan naskah proklamasi yang diketik oleh Sayuti Melik mempunyai beberapa perbedaan, dan coretan-coretan.

PELAKSANAAN PROKLAMASI

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia setelah selesai membuat rumusan teks proklamasi dalam sidangnya pada tanggal 16 Agustus 1945 (jam 12 malam), yang dihadiri pula oleh pemimpin-pemimpin pemuda dan beberapa orang pemimpin pergerakan dan anggota-anggota Tjuo Sangiin yang ada di Jakarta, yang berjumlah sekitar 40 atau 50 orang-orang terkemuka, maka jam 03.00 (dini hari), sebelum sidang ditutup oleh ketua, Bung Karno memperingatkan, bahwa hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi, Proklamasi itu akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 di Jakarta oleh Bung Karno (Soegito, 1987).

PEMBENTUKAN ALAT - ALAT KELENGKAPAN NEGARA

  1. Sidang PPKI (18 Agustus 1945). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melakukan sidang yang pertama sesudah proklamasi yang menghasilkan:
  2. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD Negara Republik Indonesia, dari rancangan preambule hukum dasar (piagam Jakarta) dengan perubahan.
  3. Menetapkan dan mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia, dari rancangan hukum dasar dengan beberapa perubahan.
  4. Memilih dan menetapkan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, ialah Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil presiden.
  5. Menetapkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan menambah beberapa orang terhadap anggota PPKI.
  6. Berarti juga menetapkan dan mengesahkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD, alinea ke-4 (Soegito, 1987).


Sidang PPKI (19 Agustus 1945).
Menteri merupakan jabatan yang memimpin departemen-departemen. Oleh karena itu, pembentukan lembaga kementerian juga diikuti dengan pembentukan departemen-departemen. Departemen ini menangani bidang-bidang yang lebih khusus lagi, sehingga seorang menteri yang diangkat untuk memimpin departemen, harus memahami bidang yang ditangani itu. Pada tanggal 19 Agustus 1945, disusunlah kementrian-kementrian Negara atau departemen-departemen yang berjulmlah 12 (Badrika, 2006).

Sidang PPKI (22 Agustus 1945).
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 di Gedung Kebaktian Rakyat Jawa (Gambir Selatan, Jakarta) dibahas tiga masalah utama yang pernah dibicarakan dalam sidang sebelumnya. Pertemuan itu dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Moh. Hatta (Moedjanto, 1989).

Pembentukan TKR.
Cikal bakal terbentuknya TKR berawal dari pembentukan BKR, yang diputuskan oleh PPKI pada siding tanggal 22 Agustus 1945. PPKI saat itu tidak langsung membentuk tentara, salah satu pertimbangannya adalah agar tidak dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kedatangan Sekutu. Pada pidato di RRI pada 23 Agustus 1945, Presiden Sukarno mengumumkan pembentukan BKR. Sejak pengumuman itu, terbentuklah BKR di pusat dan diberbagai daerah, yang mewadahi para pejuang, dengan tugas utama sebagai Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) (Ricklefs, 2005).

Pembentukan Partai Politik.
Demi perkembangan demokrasi di Indonesia, Badan Pekerja KNIP menganjurkan supaya rakyat mendirikan partai-partai. Pada mulanya di Indonesia hanya ada satu partai yaitu Partai Nasional Indonesia di bawah perlindungan Sukarno Hatta (Suhartono, 2001).

Perubahan Sistem Pemerintahan Presidenstil ke Parlementer.
Latar belakang lahirnya Maklumat Pemerintah 14 November 1945 ada hubungannya dengan latar belakang lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, sebab pada dasarnya Maklumat Pemerintah 14 November 1945 itu lahir atas dasar Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut. Adapun latar belakang lahirnya Maklumat Wakil Presiden No. X berpangkal pada kekuasaan Presiden sesuai dengan Aturan Peralihan UUD 1945 pasal IV yang sedemikian dianggap terlalu besar (Suryanegara, 2010).

B. PERJUANGAN FISIK DAN KONFRONTASI

KEDATANGAN SEKUTU DI INDONESIA

Sekutu datang ke Indonesia pada 29 September 1945 dianggap relatif terlambat, apabila dilihat dari penyerahan Jepang, yaitu 14 Agustus 1945. Namun demikian, tidak dinilai terlambat apabila dilihat dari waktu penandatanganan piagam penyerahan Jepang kepada Sekutu pada 12 September 1945. Ada dua hal yang menyebabkan Sekutu terlambat datang ke Indonesia, pertama, Sekutu harus melakukan koordinasi di antara negara-negara anggota Sekutu, yang kedua, Sekutu harus mengirim dan menunggu informasi tentang keadaan di Indonesia dari pasukan mata-mata (Susanto, 1985).

Sejak memenangkan Perang Dunia II, Sekutu menguasai wilayah yang sangat luas, di Eropa, Afrika, dan Asia. Pada waktu yang relatif sama, Sekutu dalam hal ini Inggris yang sudah membentuk satuan komando bernama SEAC mengirim pasukan mata-mata untuk mengetahui kondisi di Indonesia sejak diserahkan oleh Jepang. Ternyata Sekutu datang ke Indonesia diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil Administration), yaitu suatu pemerintahan sipil Belanda yang bertujuan untuk kembali menguasai Indonesia. Inggris sebagai Sekutu yang ditugaskan ke Indonesia, ternyata telah mengadakan perjanjian rahasia dengan Belanda, yang disebut Civil Affair Aggreement pada 24 Agustus 1945 (Wiryosuparto, 1961). Isi perjanjian itu adalah Tentara Pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama Pemerintah Belanda, dalam melaksanakan tugas pemerintahan sipil akan dilaksanakan oleh NICA dibawah tanggungjawab Komando Inggris, kekuasaan itu kemudian akan dikembalikan kepada Pemerintah Belanda.

PERTEMPURAN SURABAYA

Kedatangan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby. Pada tanggal 27 Oktober 1945 tentara Inggris mulai menduduki gedung pemerintahan, yang dipertahankan oleh rakyat dan pemuda Indonesia sehingga terjadi pertempuran. Tanggal 29 Oktober 1945 atas permintaan Letnan Jenderal Christison, Presiden Soekarno terbang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran. Usaha Bung Karno berhasil dengan tercapainya gencatan senjata. Pada tanggal 31 Oktober 1945 tersiarlah berita bahwa Brigadir Jendral Mallaby hilang kemudian ternyata terbunuh. Karena tidak dapat menangkap pembunuhnya, maka pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal Manserg dengan surat sebaran menyampaikan ultimatum (Badrika, 2006).

Sampai tangal 10 November 1945, jam 06.00 pagi tidak ada seorang pun dari bangsa Indonesia yang datang menyerahkan diri. Saat itu jugalah mengguntur dentuman meriam-meriam Inggris yang dimuntahkan pelurunya di kota Surabaya. Rakyat dan pemuda Surabaya masih juga mencoba mempertahankan kotanya, namun senjata ringan dan bambu runcing tak berdaya menghadapi meriam-meriam berat dan tank-tank Inggris sehingga terpaksa pasukan bersenjata Indonesia mengundurkan diri ke jurusan Mojokerto (Kartodirdjo, 1977).

PERANG ACEH

Pasukan-pasukan Aceh dari Divisi Gajah I ditempatkan satu resimen di Medan Area (RIMA). Batalyon I dan II menduduki Medan Tengah dan Selatan. Divisi Gajah II akan menduduki Medan Barat, Panglima Divisi Gajah II Kolonel Simbolon. Divisi Gajah I menduduki Kota Medan. Batalyon Meriam Kapten Nukum Sanami, berada di Medan Timur, Batalyon NIP Xarim, Batalyon Bejo dan Batalyon Laskar Rakyat lainnya membantu Divisi Gajah II. Pada hari H yang telah ditentukan Gajah I dan Gajah II, tidak berhasil menduduki Kota Medan. Kompi Gajah I berhasil masuk di jalan raya Medan-Belawan, Tandem Hilir (Susanto, 1966).

Namun setelah dua hari mundur kembali, karena Jalan Medan Belawan dapat diduduki Belanda kembali. Pada Clash ke I, 21 April 1947, Belanda dapat menguasai daerah Medan Area dan mundur dari Medan Area. Yakin Belanda akan meneruskan serangannya menduduki Pangkalan Berandan daerah minyak, pasukan RI membumi-hanguskan Pangkalan Belanda. Selanjutnya, pasukan mundur ke Tanjung Pura, setelah tiga hari di Tanjung Pura terpaksa pasukan RI meninggalkannya karena Belanda langsung merebut Tanjung Pura. Pasukan RI bertahan di tepian Sungai Tanjung Pura, setelah tiga hari, bertahan di tepi sungai, Belanda menguasai seluruh Sungai Tanjung Pura dan pasukan RI mundur ke Gebang, Gebang perbatasan daerah Aceh Sumatera Timur. Pasukan baru didatangkan dari daratan Aceh, satu resimen untuk bertahan di Gebang (Poesponegoro, 1993).

PERANG AMBARAWA

Gerakan maju Tentera Inggris ke Ambarawa dan Magelang pada tanggal 14 Disember 1945 akhirnya dapat dipukul mundur yang dalam peristiwa sejarah dikenal sebagai Palagan Ambarawa. Pada akhir September 1946, tentera Belanda mengambil alih posisi dan wilayah pendudukan dari tentara Sekutu (Inggris) sesudah mendatangkan bala bantuan dari negeri Belanda yang dikenal dengan “Divisi 7 Desember”. Hingga bulan Oktober 1946, Belanda telah dapat menghimpun kekuatan militernya sebanyak 3 divisi di Jawa dan 3 Brigade di Sumatera. Tentera Inggris menyerahkan secara resmi tugas pendudukannya kepada Tentera Belanda pada tanggal 30 November 1946. Dari segi perimbangan kekuatan militer pada masa itu, pihak Belanda telah merasa cukup kuat untuk menegakkan kembali kekuasaan dan kedaulatannya di Indonesia, dengan memaksakan keinginannya terhadap rakyat dan pemerintah Republik Indonesia (Marwoto, 2008).

PERANG BANDUNG LAUTAN API

Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan Oktober 1945. Menjelang November 1945, pasukan NICA melakukan aksi teror Bandung. Meskipun pihak Indonesia telah mengosongkan Bandung utara, tapi sekutu menuntut pengosongan sejauh 11 km. Hal itu menyebabkan rakyat bandung marah. Mereka kemudian melakukan aksi pertempuran dengan membumihanguskan segenap penjuru Bandung selatan. Bandung terbakar hebat dari atas batas timur Cicadas sampai batas barat Andir. Satu juta jiwa penduduknya mengungsi ke luar kota pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946 meninggalkan Bandung yang telah menjadi lautan api (Badrika, 2006).

PERTEMPURAN MEDAN AREA

Keangkuhan dan provokasi Belanda semakin meningkat sejak pendaratan Sekutu. Di Medan titip api pergolakan ada di Pension Wilhelmina di seberang Pasar Sentral Jalan Bali, yang dijadikan asrama dan markas serdadu Ambon bekas KNIL yang dipimpin Westerling. Pada Sabtu pagi, tanggal 13 Oktober 1945 serombongan orang sudah berkumpul di luar markas tesbeut, karena tersiar berita bahwa seorang pengawal dari Suku Ambon telah merenggut dan menginjak-injak lambang/emblem merah putih yang dipakai seorang anak Indonesia. Terjadilah pergolakan, beberapa orang luka-luka. Di tengah baku hantam itu, dua orang Belanda yang berada di atas kendaraan melepasakan tembakan-tembakan ke arah rombongan masyarakat, satu orang tewas. Pasukan Jepang bersama dengan barisan bekas militer BPI pimpinan Ahmad Tahir yang akan beralih menjadi TKR datang untuk meredakan pertempuran. Akhirnya pihak Sekutu berjanji untuk memindahkan orang Ambon dari Pension Wilhelmina. Sementara itu, serdadu Jepang mengambil senjata-senjata dari gedung itu dan menempatkan pengawalnya di pintu pagar. Masyarakat Medan membubarkan diri pukul 13.30 dengan meninggalkan dua orang Indonesia dan seorang wanita Ambon yang meninggal dunia (Reid, 1987).

PERLAWANAN RAKYAT DI WILAYAH KEKUASAAN BELANDA

Peringatan hari proklamasi di daerah-daerah juga tidak dilewatkan oleh masyarakat. Di Bogor rakyat merayakan sesuai dengan suasana dan keadaan. Sang Merah Putih tetap dipasang, tetapi di dinding-dinding rumah saja. Rakyat yang mempunyai gambar Presiden Sukarno, pada hari bersejarah itu menggantungkannya pula. Rakyat Bogor mengadakan selamatan dengan membaca sholawat 1000 kali dan doa selamat, kemudian dhidangkan kue-kue dan bubur merah putih. Rakyat berziarah juga ke makam-makam pahlawan, namun kunjungan ke Kebun Kembang tidak dapat dilaksanakan, karena penjagaan yang ketat dari pihak Belanda. Di Bandung, panitia 17 Agustus yang dipimpin oleh R.P.S Gondokusumo telah diijinkan oleh Recomba untuk merayakan Hari Proklamasi secara tertutup dalam pertemuan yang dihadiri tidak lebih dari 50 orang (Reid, 1987).

AGRESI MILITER BELANDA I

Latar belakangnya adalah adanya penolakan pihak Republik Indonesia terhadap tuntutan Belanda yang berisi tentang keharusan RI untuk mengirim beras dan penyelenggaraan gendarmie (keamanan dan ketertiban bersama). Serangan ini dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 dengan sasaran kota besar di Jawa, daerah perkebunan dan pertambangan. Tujuan Belanda melakukan serangan atas RI ialah penghancuran RI. Untuk melakukan itu Belanda tidak dapat melakukan sekaligus, oleh karena itu pada fase pertama Belanda harus mencapai sasaran (Moedjanto, 1989).

Tanggal 30 Juli 1947 pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar agenda Dewan Keamanan PBB. itu diterima dan dimasukkan sebagai agenda dalam pembicaraan sidang Dewan Keamanan PBB. India membela RI karena solidaritas Asia terutama sesudah konferensi internasional di New Delhi pada Maret 1947 di mana Indonesia ikutserta. Lagipula hubungan RI-India baik sekali karena politik beras Syahrir (antara 1946-1947), yaitu Indonesia membantu India yang sedang dilanda kelaparan dengan mengirim beras sebanyak 700.000 ton. Dalam laporanya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa 30 Juli 1947-4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih melakukan gerakan militer. Setelah beberapa minggu tidak ada keputusan, akhirnya pada 25 Agustus 1947 usul AS diterima sebagai keputusan DK PBB. Usul AS adalah pembentukan Committee of Good Officer (Komisi Jasa-Jasa Baik) untuk membantu kedua belah pihak menyelesaikan pertikaian. Atas dasar putusan DK PBB tersebut, pada 18 September 1947 Belanda memilih Belgia, RI memilih Australia, dan kedua negara memilih negara ketiga yaitu AS. Komisi jasa-jasa baik, selanjutnya disebut KTN (Komisi Tiga Negara), yang beranggotakan Dr. Frank Graham (AS), Paul Van Zeelan (Belgia), dan Richard Kirby (Australia). Sebelum KTN terbentuk dan belum datang ke Indonesia, Belanda terus melakukan langkah-langkah yang merugikan RI. KTN mampu memaksa Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia, yaitu Perundingan Linggarjati (Romadi, 2001: 14).

AGRESI MILITER BELANDA II

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan keduanya terhadap Indonesia. Latar belakangnya adalah adanya pengingkaran Belanda atas hasil perjanjian Renville di mana Belanda tidak mau lagi terikat dengan perjanjian Renville. Serangan diawali penerjunan pasukan payung di pangkalan udara Maguwo dan menduduki ibu kota Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memutuskan tetap tinggal di Ibukota. Namun Sukarno Hatta beserta sejumlah menteri dan S. Suryadarma ditawan Belanda. Sebelum pihak Belanda sampai di Istana, Soekarno telah mengirim radiogram yang berisi perintah kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berkunjung ke Sumatra untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) (Supriatna, 2002).

Dalam satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan melakukan pukulan-pukulan secara teratur kepada musuh. Serangan umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan TNI dan yang dikenal sebgai Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta dipimpin oleh Letkol Suharto. Dalam masa perjuangan itu para pelajar membentuk tentara-tentara pelajar. Para pelajar di Jawa Timur membentuk Tentara Pelajar Republik Indonesia (TPRI) dan Tentara Genie Pelajar (TGP) yang terdiri dari pelajar sekolah teknik (Notosusanto, 1971).

INDONESIA MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II

Langkah Politik/Diplomasi. Pada pukul 23.30 tanggal 18 Desember 1948, Cochran mendapat surat dari delegasi Belanda di Jakarta untuk disampaikan kepada KTN di Yogyakarta. Isi surat tersebut adalah Belanda tidak terikat lagi dengan isi perjanjian Reville. Dengan alasan bahwa PM Hatta menolak intervensi Belanda di wilayah RI dan menganggap penolakan tersebut dari Indonesia melanggar ketentuan, dan Belanda mantap untuk menyerang Yogyakarta secara mendadak. Mendengar berita penyerbuan tentara Belanda secara mendadak, Kabinet RI pun bersidang. Sampai tahun 1949, Belanda sudah memasukkan 145.000 pasukan ke Indonesia, namun hanya berhasil menguasai kota-kota dan jalan raya, sedangkan pemerintahan RI tetap berjalan wajar di desa-desa. TNI secara gerilya tetap melawan Belanda. Rakyat dan pemerinhan sipil melakukan politik non cooperasi dan ikut bergerilya pula (Poesponegoro, 1993).

Langkah Militer/Konfrontasi. Sebelum Belanda melancarkan serangan terhadap Kota Yogyakarta 19 Desember 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman pada 9 November 1948 telah mengeluarkan perintah perubahan siasat pertahanan, yang terkenal dengan Perintah Siasat Nomor 1. Dalam perintah sisaat tersebut intinya merupakan penjabaran dari Pertahanan Rakyat Semesta (Poesponegoro, 1983).
Wehrkreise istilah bahasa Jerman yang berarti lingkaran pertahanan. Sistem wehrkreise artinya pertahanan dalam lingkaran-lingkaran pertahanan yang dapat berdiri sendiri, namun dapat juga saling membantu dan mendukung dengan lingkaran pertahanan yang lain. Prajurit yang sudah mundur dari garis pertahanan pertama dapat menggabungkan diri dengan daerah pertahanan berikutnya. Dengan demikian, maka gerak musuh dapat dihambat.

REAKSI DUNIA TERHADAP AGRESI MILITER BELANDA II

Negara Asia dan Afrika. Tanggal 20-23 Januari 1949, atas prakarsa Perdana Menteri India dan Birma, diselenggarakan Konferensi Asia untuk membahas masalah Indonesia. Konferensi Asia mengeluarkan tiga resolusi untuk penyelesaian konflik antara Indonesia dan Belanda, yang isinya antara lain berupa kecaman keras terhadap agresi militer Belanda di Indonesia. Di antara resolusi-resolusi yang diterima oleh konferensi, sebuah berisi rekomendasi kepada Dewan Keamanan. Teks resolusi ini dikawatkan kepada Dewan Keamanan. Teks resolusi ini disusun dengan mengakui sepenuhnya wewenang Dewan Kemanan, terutama dalam hasrat hendak membantu memecahkan masalah Indonesia (Supriatna, 2002).

Perubahan Sikap Amerika Serikat. Amerika Serikat sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya selalu mendukung Belanda. Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, Dr. Baskara T. Wardaya (2006), menyampaikan bahwa Amerika Serikat selalu mendukung Belanda untuk menduduki kembali Indonesia. Ada sejumlah alasan bagi Amerika Serikat untuk menempatkan pada posisi demikian (Kahin, 2013). Pertama, ketakutan akan komunisme. Kedua, pentingnya Indonesia bagi kepentingan ekonomi Belanda. Indonesia yang kaya dengan berbagai sumber daya alam seperti minyak, emas, karet, bauxite, kopra dan lain-lain telah menjadi sumber utama ekonomi Belanda selama masa penjajahan. Ketiga, kepentingan ekonomi Amerika.

PBB. Dewan Keamanan PBB segera bersidang pada tanggal 24 Januari 1949 sebagai reaksi terhadap Agresi Militer Belanda II sekaligus tanggapan terhadap desakan negara-negara Asia dan Afrika dalam pertemuan di New Delhi (India). Pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi (Kahin, 2013).

Palang Merah Internasional (PMI). Permasalahan antara Indonesia dengan Belanda tidak hanya menarik perhatian dan peran serta dari Negara-Negara dari berbagai belahan dunia, tetapi juga turut menarik perhatian dan peran serta dari berbagai organisasi Internasional yang ada. Salah satu Organisasi Internasional yang tercatat pernah terlibat dalam urusan penyelesaian sengketa antara Indonesia dengan Belanda ialah Organisasi Palang Merah Internasional. Salah satu upaya yang cukup mendapat perhatian karena berakhir dengan sangat tragis adalah upaya mengirimkan bantuan melalui jalur udara dengan menggunakan pesawat ringan bertanda Palang Merah Internasional yang berakhir dengan kegagalan karena pesawat tersebut ditembak jatuh oleh pesawat tempur Belanda saat akan mendarat di lapangan udara Magoewo di Yogyakarta (Nasution, 1978).

C. PERJUANGAN DIPLOMASI

PERJANJIAN LINGGAR JATI

Untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda maka pada 10 November 1946 diadakan perundingan di Linggar Jati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr. Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Inggris mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata terbentuk. Pihak Belanda diwakili oleh Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj. Van Mook. Isi persetujuan Linggar Jati. Setelah naskah perjanjian ditandatangani, muncul pro dan kontra dimasyarakat mengenai hasil perundingan tersebut. Tanggal 25 Maret 1947 pihak Indonesia menyetujui perjanjian Linggar Jati (Bahar, 1991).

PERUNDINGAN RENVILLE

Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda No. 51 tanggal 15 Desember 1947, wakil-wakil pemerintah Belanda yang hadir dalam perundingan Renville dengan penuh kehati-hatian menghindari kata “delegasi” (Agung, 1991). Ini untuk menjelaskan bahwa persoalan Indonesia adalah masalah dalam negeri. Oleh karena itu, Keputusan Kerajaan Belanda menyebut “penunjukkan suatu komisi untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan sesuai Resolusi DK PBB tanggal 25 Agustus 1947 (Badrika, 2006).

PERJANJIAN ROEM ROYEN

Pada bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis dengan Indonesia. Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan itu diterima dan merupakan pertemuan pertama antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948. Pertemuan antara Perdana Menteri Dr. Willem Drees dengan Prof. Dr. Supomo tidak diumumkan kepada masyarakat sehingga bersifat informal. Pertemuan lainnya yang bersifat informal adalah antara utusan BFO yaitu Mr. Djumhana dan Dr. Ateng dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949. Hasil pembicaraan secara mendetil dari pertemuan-pertemuan itu tidak pernah diumumkan secara resmi, kecuali diberitakan oleh harian Merdeka pada 19 Januari 1949 dan 24 Januari 1949. Namun demikian dari pertemuan informal tersebut dicapai kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan oleh Mr. Moh. Roem bahwa RI bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan Komisi PBB dalam suatu perundingan formal (Ricklefs, 1998).

Pada tanggal 13 Februari 1949 Wakil Presiden Mohammad Hatta secara resmi menyatakan pendapatnya bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah RI sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendirian Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO (Pujianti, 2011).

Berdasarkan kenyataan dan penjajagan politis yang dilakukan oleh Belanda terhadap para pemimpin Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa pada umumnya bersedia berunding. Oleh karena itu, Belanda pada tanggal 26 Pebruari 1949 mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar pada tanggal 12 Maret 1949. KMB akan diadakan dengan diikuti oleh Belanda, Indonesia dan negara-negara bentukan Belanda guna membicarakan masalah Indonesia seperti syarat-syarat penyerahan kedaulatan dan pembentukan Uni Indonesia Belanda (Reid, 1987).

Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1949 untuk menemui Ir. Sukarno beserta beberapa pemimpin RI yang masih ditawan di Pulau Bangka untuk menyampaikan rencana KMB. Pada tanggal 3 Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO tentang perlunya pengembalian kedudukan pemerintah RI sebagai syarat diadakannya perundinagn sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 4 Maret 1949 Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota Belanda (Suhartono, 2001).

Undangan menghadiri KMB yang dimaksud oleh Dr. Koets tentu saja bukan undangan pribadi kepada Ir. Sukarno, melainkan undangan untuk pemerintah Indonesia. Oleh karena itu Presiden Sukarno menyampaikan bahwa RI tidak mungkin berunding tanpa pengembalian pemerintahan ke Yogyakarta. Dengan demikian maka sebelum perundingan dimulai, secara tidak langsung Belanda harus sudah mengakui bahwa RI masih tegak berdiri. Sementara itu pihak BFO juga mengeluarkan surat pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap dalam pendirian semula. Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 23 Maret 1949 memberitahukan kepada Belanda bahwa Komisi PBB telah bekerja sesuai dengan resolusi Dewan Keamnaan PBB tanggal 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak (Suryanegara, 2010).

Delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sebagai Ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya adalah : Dr. J. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr. Supomo, Mr. Latuharhary disertai lima orang penasehat. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. Van Royen, dengan anggota-anggotanya Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, Dr. J.J. Van der Velde dan empat orang penasehat. Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr. Moh. Roem (Indonesia) dengan Dr. Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang) (Supriatna, 2002).

Perundingan berlarut-larut dan sempat terhenti sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri KMB dan bersedia bekerjasama menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan Belanda dibebaskan (Bahar, 1991).
Karena perundinagn berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu, pada tanggal 24 April 1949 Drs. Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh cara lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran. Pada tanggal 25 April 1949 diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Hasil pertemuan ini tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda (Suryanegara, 2010).

Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia agar dapat menerima usulan Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa melanjutkan perundingan. Selanjutnya masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan. Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang masing-masing menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr. Moh. Roem dan Dr. Van Roiyen, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens (Ricklefs, 1998).

Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, yang tidak bersyarat. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh pemerintah Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta. Bunyi statement Roem-Royen (Pujianti, 2011):
  1. Sesuai dengan resolusi DK PBB, Indonesia menyatakan kesanggupannya untuk menghentikan perang gerilya.
  2. bekerjasama mengembalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.
  3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dengan tidak bersyarat.
  4. Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh Dr. Van Royen)


Delegasi Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubungan dengan kesanggupan yang baru saja diucapkan oleh Mr. Roem, ia menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Sebagai tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi PBB, dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
  1. Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya daerah itu.
  2. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
  3. Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag (Ricklefs, 1998).


Setelah para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13 Juli 1949 jam 20.30, diadakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Mr. Sjafrudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta. Sedangkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mendukung pemerintah RI dengan syarat (Nasution, 1987). Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan juni. Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan Republik. Pada tanggal 1 Agustus, diumumkanlah genjatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan Sumatera pada tanggal 15 Agustus (Poesponegoro, 1993).

Dengan disepakatinya prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, pemerintah darurat RI di Sumatra memerintahkan kepada Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambilalih pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta. Partai politik yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi. Dr. Sukiman selaku ketua umum Masyumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI adalah dengan melihat posisi RI di dunia internasional dan di dalam negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan hasratnya untuk bekerjasama dengan RI. Sedangkan Mr. Surjono Hadinoto, ketua umum PNI menyatakan bahwa Persetujuan Roem-Royen merupakan satu langkah ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah-masalah Indonesia (Reid, 1987).

D. KONFRENSI MEJA BUNDAR (KMB)

Pimpinan TNI Kembali ke Kota Yogyakarta. Masuknya TNI dan para pemimpin yang kembali dari pengasingan ke Yogyakarta diperingati sebagai Hari Yogya Kembali, yang akhirnya juga diabadikan dengan Monumen Yogya Kembali. Itu berarti Monumen Yogya Kembali bukan hanya untuk mengabadikan kembalinya TNI ke Yogyakarta, tetapi juga kembalinya pemimpin bangsa. Dari fakta sejarah justru nampak bahwa pembangunan monumen ini tidak langsung berkaitan dengan perisrtiwa Seranfgan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto. Selama ini kita sealu berpendapat bahwa pembangunan Monuen Yogya Kembali untuk memperingati Serangan Fajar yang berhasil merebut Kota Yogyakarta selama 6 jam (Sumarmo, 1985).

KONFRENSI INTER INDONESIA

Hubungan antara pemimpin-pemimpin BFO dan Republik Indonesia, pertama kali dijalin pada 1949 ditempat pengasingan di Bangka.waktu itu, pembentukan negara federal Indonesia Serikat masih kabur kerena syarat mutlak pembebasan para pemimpin Republik Indonesia belum dilaksankan. Pemimpin-pemimpin BFO masih ragu-ragu terhadap kekuatan perlawanan gerilyawan terhadap tentara Belanda yang dianggapnya akan mengalami kegagalan. Untuk menyelamatkan kedudukan sebagai pemimpin di negaranya masing-masing pemimpin-pemimpin BFO mengadakan siasat yang dapat memberi jaminan negara-negara BFO yang akan menjadi negara bagian dalam Negara Indonesia Serikat. Mereka yakin bahwa perundingan Konferensi Meja Bundar akan menghasilkan pembentukan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat penuh atas pertimbangan faktor-faktor. Untuk menyamakan persepsi dan pemahaman serta menyatukan langkah menghadapi Belanda dalam KMB, negara-negara bagian dan RI mengadakan konferensi bersama. Konferensi ini diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 dan dilanjutkan di Jakarta pada 30 Juli-2 Agustus 1949. Pemilihan kedua kota ini atas pertimbangan bahwa Yogyakarta merupakan wilayah negara RI sedangkan Jakarta termasuk daerah negara bagian. Dengan demikian tercipta sikap saling menghargai dan sejajar (Moedjanto, 1989).

Delegasi BFO untuk menghadiri Konferensi Antar Indonesia tahap pertama yang diselenggarkana di istana negara Yogyakarta, dipimpin oleh Sultan Hamdi Algdrie dari Pontianak. Kedatangan mereka disambut sangat gembira oleh masyarakat Yogyakarta sehingga timbul kesan bahwa kecurigaan sudah musnah sama sekali. Konferensi tahap pertama membahas ketatanegraan Indonesia bertalian dengan maksud mendirikan Negara Indonesia Serikat. Keputusan Konferensi Inter Indonesia adalah :
  1. Agustus ditetapkan sebagai Hari Nasional Negara RIS
  2. Bendera Merah Putih sebagai bendera RIS
  3. Lagu kebangsaan RIS adalah Indonesia Raya
  4. Bahasa Nasional RIS yaitu Bahasa Indonesia (Mulyana, 2008)


DETIK DETIK MENJELANG DAN PELAKSANAAN KONFRENSI MEJA BUNDAR

Tindak lanjut mempersiapkan penyelenggaraan konferensi meja bundar (KMB) di den haag, negeri Belanda, perdana menteri NIT, ide Anak Agung Gde Agung, yang merangkap sebagai wakil ketua pertemuan musyawarah federal (PMF, yang lebih dikenal BFO) menyarankan agar sebelum diselenggarakan KMB, terlebih dahulu diadakan suatu konferensi antara BFO dan RI. Maksudnya ialah, untuk membentuk suatu rekonsiliasi antara pemimpin-pemimpin RI dan wakil-wakil negara bagian dan daerah-daerah di luar wilayah kekuasaaan RI, karena adanya perselisihan paham dan jurang pemisah antara mereka akibat politik memecah belah pemerintah Belanda. Selain itu, agar tercapai kerjasama dan kekompakan menghadapi Belanda selama pembicaraan pada sidang KMB (Ricklefs, 2005).

Dari tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, konferensi Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag. Hatta mendominasi pihak Indonesia selama berlangsungnya perundingan-perundingan dan semua peserta mengaguminya. Suatu uni yang longgar antara negeri Belanda dan RIS disepakati dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Soekarno akan menjadi presiden RIS dan Hatta sebagai perdana menteri (1949-1950) merangkap wakil presiden. Pada tanggal 27 Desember 1949, negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia, tidak termasuk Papua, kepada RIS, sebuah Negara federal yang hanya bertahan secara utuh selama beberapa minggu saja (Wirawan, 2012).

Pada tanggal 31 Oktober 1949 delegasi RI dan BFO menerima usul yang bersifat kompromi dari UNCI tentang status Irian Barat. Semula soal ini sangat pelik dan hampir buntu dari penyelesaian, akhirnya bersedia menerima usulan UNCI walaupun lebih merugikan Indonesia. Usulan UNCI adalah masalah Irian Barat (Niew Guineo) akan diselesaikan setahun setelah tanggal penyerahan kedaulatan antara RIS dengan Kerajaan Belanda. Setelah masalah Irian disetujui RI dan BFO maka pada 2 Nopember 1949 KMB ditutup oleh Ratu Juliana (Suryanegara, 20120.

PENGESAHAN HASIL KMB

Berdasarkan hasil KMB maka daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda yang sejak 17 Agustus 1945 diproklamasikan sebagai Republik Indonesia dengan bentuk kesatuan, sejak 17 Desember 1949 berubah menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat. Sementara itu, RI hanya merupakan negara bagian dari RIS dengan wilayah Yogyakarta. Republik Indonesia Serikat adalah sebuah Negara federal tergabung di dalamnya 15 negara bagian yang telah didirikan Belanda selama 3 tahun sebelumnya di wilayah yang didudukinya, sebagai taktik devide et impera untuk melawan Republik Indonesia. Dengan dibentuknya RIS, disahkanlah Konstitusi RIS 1949 di Gedung Proklamasi, Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada 14 Desember 1949. Selanjutnya pada 16 Desember 1949 di Yogyakarta dilakukan pemilihan Presiden RIS. Terpilihkah Presiden Sukarno yang dilantik pada 18 Desember 1949, dan Bung Hatta menjadi Perdana Menteri yang kemudian membentuk zaken cabinet RIS (ANRI, 2002).

Hasil-hasil persetujuan yang tercapai dalam perundingan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Den Haag, walaupun tidak memuaskan sepenuhnya, dan masih banyak mengandung kekecewaan terutama mengenai soal Irian dan ekonomi/keuangan tak dapat dikatakan memenuhi syarat yang penting untuk meneruskan perjuangan rakyat mencapai cita-citanya, dengan adanya pengakuan kedaulatan de facto dan de jure bukan saja oleh negeri Belanda, melainkan sekarang nyatanya juga oleh beberapa negara besar dan kecil.

Persetujuan KMB menimbulkan pro dan kontra, hal ini sangat lumrah karena satu persetujuan mesti ada segi-segi kompromi. Presiden Sukarno memberi persetujuan tetapi menyesalkan mengapa Irian Barat dibiarkan belum masuk, dengan begitu wilayah Negara Proklamasi masih belum lengkap. Walaupun menimbulkan banyak ketidakpuasan, KMB menurut pemerintah merupakan hasil perjuangan diplomasi maksimal yang dapat dicapai pada waktu itu. Oleh karena itu agar hasil KMB bisa dilaksanakan maka memerlukan persetujuan dari wakil-wakil rakyat yang duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat.

Sekembalinya ke tanah air, Perdana Mentri Hatta memberikan laporan kepada kabinet hasil perundingan Konferensi Meja Bundar dalam sidang kabinet tanggal 16 November 1949. Dengan suara bulat, kabinet menerima hasil perundingan dan menyarankan agar secepatnya dimintakan pengesahan pleno KNIP. Tanggal 7-15 Desember, KNIP mengadakan sidang pleno untuk mendengarkan tanggapan para anggotanya terhadap keterangan pemerintah tentang hasil KMB yang dimintakan pengesahan. Akhirnya, hasil-hasil KMB diterima dengan suara 226 berbanding 62 dan 31 blangko. Golongan yang tidak setuju adalah golongan komunis dan partai Murba. Golongan Partai Sosialis Indonesia memberikan suara balngko. Di Nederland, piagam persetujuan KMB disahkan pada tanggal 14 Desember dengan suara 71 berbanding 29 di Dewan Perwakilan Rakyat (kamar kedua) dan 34 berbanding 15 di Dewan Senat (kamar pertama). Terkait pengesahan piagam persetujuan KMB oleh sidang KNIP di atas, tanggal 16 Desember dilangsungkan pemilihan presiden untuk Republik Indonesia Serikat di Gedung Kepatihan Yogyakarta oleh wakil-wakil 16 negara bagian (Suryanegara, 2010).

Selanjutnya KNIP mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden RIS. Terpilihlah Ir. Sukarno sebagai Presiden RIS dengan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Presiden Sukarno yang pada tanggal 17 Desember 1949 dilantik sebagai presiden RI yang pertama, pada tanggal 28 Desember 1949 pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, diikuti oleh pemerintah seluruhnya. Pada tanggal 19 Desember 1949, Kabinet RIS yang pertama dibentuk Mohamad Yamin sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan, Anak Agung Gde Agung sebagai Menteri Dalam Negeri, Syafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan, Ir. Juanda sebagai Menteri Kemakmuran, Ir. Laoh sebagai Menteri Perhubungan, Prof. Mr. Supomo sebagai Menteri Kehakiman, Dr. Abu Hanifah sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. J. Leimena sebagai Menteri Kesehatan. Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Moh. Hatta berangkat ke Belanda untuk menerima pengakuan kedaulatan dari Ratu Belanda. Di waktu yang sama, HVS. Loving menghadap Presiden Soekarno di Jogjakarta untuk mohon diri sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda terakhir. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Jogjakarta Mr. Assaat disumpah sebagai pemangku jabatan sementara jabatan Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu segala perlengkapan dan aparatur negara RIS dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta. Pada 27 Desember 1949 pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas Indonesia tidak termasuk Irian Barat kepada pemerintah RIS dan membebaskan seluruh tahanan politik yang berjumlah sekitar 12.000 orang (Soebagijo. 1981).

DAFTAR PUSTAKA

Agung, I Gde Anak. 1991. Renville. Jakarta. Penerbit Pustaka Sinar Harapan

Algadri, Hamid. 1991. Suka Duka Masa Revolusi. Jakarta: UPI

Anshari, H. Endang Saifudin. 1977. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949). Jakarta: Gema Insani Press

Bahar, Saafroedin. 1991. Perjuangan Menuju Persatuan dan Kesatuan Bangsa Semarang: PT. Mandira Jaya Abadi

Basri, Agus. 1989. Mohammad Natsir, Politik Melalui Jalan Dakwah. Jakarta. Majalah Tempo

Dinas Sejarah Militer TNI dan Angkatan Darat. 1972. Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat. Jakarta: Fa Mahjuna

Hardjosoediro, Soejitno. 1992. Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka

Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949 (Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia) Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang

Imran, Amrin dkk. 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah ; Perang dan Revolusi. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve

Iskandar, Amrin Imran Mohammad dkk. 2012 Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hove

Kahin, George Mc Turnan. 2013. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu

Kartodirjo, Sartono, dkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta. Depdikbud Balai Pustaka

Kowani. 1978. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta. PN. Balai Pustaka

Marwoto, Kolonel Caj. 2008. Rute Perjuangan Geriliya Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jakarta: Ami Global Media

Moedjanto, G, 1989. Indonesia Abad Ke-20 Dari Perang Kemerdekaan Sampai Pelita III. Yogyakarta. Penerbit Kanisius

Moehkardi. 2012. Revolusi Nasional 1945 di Semarang Yogyakarta: DnA Optimax

Mulyana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Yogyakarta: LkiS

Nasution, AH. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia-Agresi Militer Belanda II

Nasution, AH. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII. Bandung: Disjarah-AD dan Penerbit Angkasa

Nasution, AH. 1984. Pokok-Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa lalu dan Yang Akan Datang. Bandung. Penerbit Angkasa

Negara, Ahmad Masyur Surya. 2010. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani Pustaka

Notosusanto, Nugroho. 1971. Ichtisar Sedjarah Republik Indonesia (1945-Sekarang). Jakarta. Pusat Sejarah ABRI Dephankam

Notosusanto, Nugroho, dkk. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 3. Jakarta. Depdikbud

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka

Pujianti, Selvi M. 2011. Perundingan Roem-Royen Versi I, diunduh pada tanggal 27 November 2014.

Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Ricklefs, MC. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sekretariat Negara. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada

Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Transmedia Pustaka

Soebagijo I.N. 1981. Sudiro Pejuang Tanpa Henti. Jakarta. PT. Gunung Agung

Soegito, AT. 1987. Sejarah Ketatanegaran Republik Indonesia. Semarang: Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan

Soenario. 1971. Banteng Segitiga dan Indonesia Menggugat. Jakarta.Yayasan Marinda

Sudiyo. 2004. Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan Jakarta: Rineka Cipta

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Jakarta: Pustaka Pelajar Offset

Sumarmo, Iwa. 1985. Indonesia Merdeka atau Mati: Sejarah Pasukan Pelajar IMAM selama Perang Kemerdekaan. Jakarta: Keluarga Besar Imam

Suprapto, Bibit. Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia

Supriatna, Nana. 2002. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum. Bandung: Grafindo Media Pratama

Sumiyati, Sri Endang, Tataq Chidmad, Budi Hartono. 2001. Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Yogyakarta: Media Pressindo

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadi Pustaka Semesta

Susanto, Sewan. 1985. Perjuangan Tentara Pelajar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Wardaya, Baskara T, SJ, Dr. 2006. Bung Karno Menggugat Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal 65 Hingga G 30 S. Yogyakarta: Penerbit Galangpres Wirawan,

Anak Agung Bagus. 2012. Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950. Denpasar: Udayana University Press

Wiryosuparto, Sucipto, RM. 1961. Sejarah Indonesia Jilid II Abad ke XVI Sampai Sekarang. Jakarta: Indira

PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN MAKNANYA BAGI BANGSA INDONESIA

A. PERSIAPAN MENUJU KEMERDEKAAN

JANJI KEMERDEKAAN

Memasuki tahun 1944 kekuatan bala tentara Jepang dalam perang dengan Sekutu mulai nampak kemundurannya dan posisinya semakin terjepit. Dalam bulan Juli 1944, kepulauan Saipan yang letaknya sangat dekat dengan kepulauan Jepang jatuh ke tangan Amerika Serikat. Kenyataan ini sangat mengguncangkan masyarakat Jepang. Situasi angkatan perang Jepang ini semakin memburuk dalam bulan Agustus tahun 1944. Keadaan ini nampak pada moril masyarakat mulai merosot dan produksi peralatan perangnya yang semakin mundur, sehingga persediaan senjata dan amunisi berkurang, ditambah lagi dengan timbulnya soal-soal logistik karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang. Keadaan yang tidak menguntungkan ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Tojo pada tanggal 17 Juli 1944. Sebagai gantinya kemudian diangkat Jenderal Kuniaki Koiso sebagai Perdana Menteri yang memimpin Kabinet Baru (Kabinet Koiso).

Salah satu langkah kebijakan yang diambil oleh Koiso dalam rangka tetap mempertahankan pengaruh Jepang di daerah-daerah yang didudukinya adalah mengeluarkan pernyataan tentang "janji kemerdekaan di kemudian hari". Dengan cara demikian pemerintah Jepang berharap bahwa rakyat di daerah pendudukan akan dengan senang hati mempertahankan negerinya itu jika kelak Sekutu datang. Indonesia sebagai daerah pendudukan kemudian diberi janji kemerdekaan di kelak kemudian hari pada tanggal 7 September 1944.

Pada tahun 1944 itu pula, dengan jatuhnya Pulau Saipan dan dipukul mundurnya tentara Jepang oleh angkatan perang Sekutu yang datang dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshal, maka seluruh garis pertahanan angkatan perang Jepang di Pasifik mulai runtuh. Ini berarti kekalahan Jepang dalam perang besar itu sudah diambang pintu. Di wilayah Indonesia angkatan perang Jepang juga sudah mulai kewalahan ketika menghadapi serangan-serangan Sekutu atas kota-kota seperti Ambon, Makasar, Manado, dan Surabaya. Bahkan tentara Serikat dengan cukup berhasil telah dapat menduduki daerah-daerah minyak seperti di Tarakan dan Balikpapan.

Menghadapi situasi yang sangat kritis tersebut, maka pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakici Harada mencoba merealisasikan janji kemerdekaan di kemudian hari dengan mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini bertugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan pelbagai hal yang menyangkut pembentukan negara Indonesia yang merdeka. Pengangkatan pengurus badan ini diumumkan pada tanggal 29 April 1945, dan yang diangkat sebagai Ketua (Kaico) adalah dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dengan Ketua Muda (Fuku Kaico) Icibangase.

Tanggal 28 Mei 1945 diselenggarakan upacara peresmian BPUPKI dengan mengambil tempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri). Ikut hadir dalam upacara peresmian tersebut adalah Jenderal Itagaki dan Letnan Jenderal Nagano. Segera setelah peresmiannya ini, BPUPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Dalam sidang yang pertama ini yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, ternyata ada tiga pembicara yang mencoba memenuhi permintaan Ketua, yakni secara khusus membicarakan mengenai dasar negara. Ketiga pembicara tersebut adalah Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno. Dengan selesainya sidang pada tanggal 1 Juni 1945, maka berakhirlah masa persidangan yang pertama dari BPUKI. Selanjutnya dibentuklah panitia kecil yang dipimpin oleh Ir. Sukarno dengan anggota lainnya yaitu Drs. Muhammad Hatta, Sutardjohadikusumo, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis. Kesemuanya berjumlah delapan orang dan mereka bertugas menampung saran-saran, usul-usul dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh Ketua telah diminta untuk diserahkan melalui Sekretariat.

Sidang BPUPKI yang kedua dilakukan pada tanggal 10 hingga 17 Juli 1945. Dalam sidang tersebut Ir. Sukarno melaporkan bahwa Panitia Kecil pada tanggal 22 Juni telah mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI. Pertemuan inilah yang kemudian membentuk sebuah panitia kecil lain yang berjumlah 9 orang. Panitia ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan terdiri dari Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasjim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia Merdeka, yang akhirnya diterima dengan suara bulat dan ditandatangani. Oleh Mr. Muhammad Yamin hasil Panitia Sembilan itu kemudian diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Dalam sidang BPUPKI yang kedua juga dibahas tentang rancangan undang-undang dasar, termasuk pembukaan atau preambulnya oleh sebuah Panitia Perancang Undang Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia Perancang Undang Undang Dasar ini kemudian membentuk "Panitia Kecil Perancang Undang Undang Dasar" yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo. Setelah bekerja dengan keras, maka pada tanggal 14 Juli 1945 oleh Ketua Panitia Perancang Undang Undang Dasar dilaporkan tiga hasil, yakni: (1) Pernyataan Indonesia Merdeka, (2) Pembukaan Undang Undang Dasar, dan (3) Undang Undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya).

Setelah tugas BPUPKI dipandang selesai, dibentuklah sebagai gantinya yaitu Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendirian negara dan pemerintahan Indonesia. Peresmian pembentukan badan ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jenderal Besar Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara. Para anggota PPKI ini diijinkan melakukan kegiatannya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri, tetapi dengan syarat harus memperhatikan hal-hal: (1) menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, karena itu harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya dan bersama-sama dengan pemerintah Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, (2) Negara Indonesia itu merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya (Marwati Djonet, 1984: 77).

Pada tanggal 8 Agustus 1945, Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat dipanggil oleh Jenderal Terauchi ke Dalat (Kahin, 1980: 158). Pada tanggal 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju ke markas besar Terauchi di Dalat (Vietnam Selatan). Dalam pertemuan yang diselenggarakan di Dalat pada tanggal 12 Agustus 1945 itu, Jenderal Besar Terauchi menyampaikan kepada ketiga pemimpin tersebut bahwa Pemerintah Kemaharajaan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Untuk melaksanakannya telah dibentuk PPKI. Pelaksanaanya dapat dilakukan segera setelah persiapannya selesai. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (Hatta, 1970: 18).

Anggota PPKI berjumlah duapuluh satu orang yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai daerah di Indonesia. Anggota-angota PPKI tersebut adalah: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dr. Radjiman Wediodiningrat, Oto Iskandardinata, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Surjohadimidjojo, Mr. Sutardjo Kartohadikusumo, R.P. Suroso, Prof. Dr. Mr. Supomo, Abdul Kadir, Purubojo, dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abas, Dr. Ratu Langie, Andi Pangeran, Hamidhan, Mr. I Gusti Ketut Pudja, Mr. J. Latuharhary, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Sebagai ketuanya adalah Ir. Sukarno, sedangkan wakil ketuanya adalah Drs. Mohammad Hatta. Anggota PPKI yang berjumlah duapuluh satu ini kemudian oleh bangsa Indonesia sendiri tanpa seijin dari pemerintah pendudukan Jepang kemudian ditambah dengan enam orang lagi. Enam anggota tambahannya itu adalah: Wiranatakusumah, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subardjo.

KEKALAHAN JEPANG DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN

Tidak lama setelah serbuan bala tentara Jepang secara mendadak ke pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941, Amerika Serikat yang seakan-akan lumpuh itu segera bangkit. Dalam kenyataannya Jepang tidak dapat melumpuhkan Amerika Serikat secara total, bahkan Amerika bangkit dan menjadi musuh yang paling berat bagi Jepang. Melihat fenomena ini banyak pihak menjadi bertanya-tanya apakah serangan Jepang terhadap Pearl Harbour itu bukan langkah yang keliru (Lihat Onghokham, 1989: 163). Lebih-lebih setelah lima bulan Perang Asia Timur Raya berkorbar, Amerika Serikat telah dapat memukul balik Jepang. Dalam perang laut Karang (4 Mei 1942) dan disusul dengan perang di Guadacanal (6 Nopember 1942), Jepang secara berturut-turut menderita kekalahan. Kekalahan yang paling besar dialami Jepang dalam pertempuran laut di dekat Kepulauan Bismarck (1 Maret 1943). Di sinilah Laksamana Yamamoto, pelaksana dan otak serangan atas Pearl Habour, gugur. Kekalahan ini setidak-tidaknya telah menggoncangkan moral bala tentara Jepang di Asia Tenggara.

Untuk mempercepat peperangan ini, maka pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang pertama di atas kota Hirosyima. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan lagi di atas Nagasaki. Akibat bom atom itu bukan saja membawa kerugian material, karena hancurnya kedua kota tersebut dan banyaknya penduduk yang menemui ajalnya, tetapi secara politis telah mempersulit kedudukan Kaisar Hirohito, karena harus dapat menghentikan peperangan secepatnya guna menghindari adanya korban yang lebih banyak lagi. Hal ini berarti bahwa Jepang harus secepatnya menyerah kepada Sekutu atau Serikat. Akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Menurut rencana, dengan mengambil tempat di atas geladak kapal perang Amerika Serikat "Missouri" yang berlabuh di teluk Tokyo akan ditandatangani kapitulasi penyerahan Jepang antara Jenderal Douglas Mc Arthur dengan Hirohito pada tanggal 2 September 1945.

Sebagai tindak lanjut dari penyerahan itu, Sekutu mulai mengadakan perlucutan senjata, memulangkan tentara Jepang dan mengadili penjahat perang. Tugas itu di Indonesia dilaksanakan oleh tentara Inggris. Mengapa tentara Inggris dan bukan tentara Amerika Serikat? Hal ini memang dimungkinkan karena pada akhir tahun 1943 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera masuk dalam South East Asia Command (SEAC), di bawah Admiral Inggris, Lord Louis Mountbatten yang pada waktu itu bermarkaskan di India, sedangkan kepulauan lain masuk dalam South West Fasific Command di bawah pimpinan Jenderal Amerika Serikat Douglas Mc Arthur, yang berkedudukan di Australia.
Sementara itu pemerintah Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang bermarkas di Australia telah merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan cara mengekor pasukan Amerika Serikat yang akan menduduki bekas Hindia Belanda. Namun sebelum rencana ini dapat dilaksanakan sepenuhnya, terjadilah perubahan strategi dari pucuk pimpinan Sekutu.

Terjadinya perubahan strategi tersebut, membawa akibat besar dalam situasi di Indonesia. Dalam Konferensi Postdam antara Truman (Presiden Amerika Serikat), Stalin (Perdana Menteri Uni Soviet) dan Attlee (Perdana Menteri Inggris) yang dilakukan pada tanggal 24 Juli 1945 ditetapkan bahwa mereka akan mengembalikan perdamaian selekas mungkin. Dalam konferensi tersebut juga diberitahukan kepada Lord Louis Mountbatten sebagai Panglima South East Asia Comand (SEAC) bahwa kepadannya diserahkan pendudukan Indo China, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, di samping Sumatera yang telah ditentukan sebelumnya. Tugas itu harus dilaksanakan, tanpa menunggu jatuhnya Singapura.

Perubahan strategi tersebut sebenarnya karena dalam kenyataannya Mac Arthur merasa khawatir kalau dalam perlombaannya dengan Uni Sovyet untuk menyerbu Jepang, Amerika Serikat akan ketinggalan karena sebagian tentaranya harus menduduki bekas wilayah Hindia Belanda. Tidak mau kedahuluan, maka Amerika Serikat mengubah rencana. Bagian yang seharusnya menjadi tugas South West Fasific Command di bawah pimpinan Jenderal Amerika Serikat Douglas Mac Arthur, yang berkedudukan di Australia, kemudian dilimpahkan kepada South East Asia Comand di bawah komando Louis Mountbatten.

Perubahan strategi dalam Konferensi Postdam ini, menyebabkan kacaunya kedudukan Belanda (NICA). Belanda yang selama ini telah menyiapkan diri di belakang Amerika Serikat, harus secepatnya mengalihkan kedudukannya di belakang Inggris yang berpangkalan di India. Inggris sendiri harus mengamankan daerah yang lebih luas dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar pula. Keadaan ini menyebabkan kacaunya strategi Inggris untuk menduduki Indonesia, oleh sebab itu tidak mengherankan kalau mereka akhirnya terlambat datang ke Indonesia. Pada kenyataannya tentara Inggris baru dapat masuk ke Indonesia secara resmi pada tanggal 29 September 1945 setelah dibentuknya Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang sebelumnya telah mengadakan penjajagan-penjajagan. Kenyataan ini menimbulkan kekosongan kekuatan/kekuasaan (vacum of power) di Indonesia. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

B. PERBEDAAAN PENDAPAT ANTAR GOLONGAN

Sejak berdirinya organisasi pergerakan nasional pertama, yakni Boedi Oetomo hingga masa pendudukan Jepang, kaum pergerakan terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok tua dan kelompok muda. Pembagian dikotomis itu ternyata tidak hanya sekedar pembagian askriptif berdasarkan kriteria umur belaka tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam, yakni perbedaan psikologis, sosiologis, dan politis. Secara psikologis golongan tua lebih bersikap hati-hati, dan penuh dengan perhitungan dalam bertindak, sehingga di mata anak muda dianggap kurang cepat bertindak. Sementara itu golongan muda sebaliknya sering bertindak hantam kromo, kurang berfikir namun cepat bertindak, dan sebagainya yang menurut pandangan orang tua disebutnya sebagai ceroboh. Secara sosiologis mereka juga terbagi ke dalam "dunianya orang tua" dan "dunianya anak muda atau pemuda". Dunia orang tua, oleh karena umumnya telah bekerja telah memiliki anak isteri atau keluarga, dan secara umum hidupnya telah mapan, mereka terlibat dalam struktur, dan ruang geraknya sangat ditentukan oleh keinginan struktural. Sementara itu anak muda umumnya belum memiliki pekerjaan yang tetap, belum berkeluarga, sehingga hidupnya menjadi lebih bebas dan tindakannya tidak selalu diatur oleh tatanan-tatanan dalam struktur sosial yang mengikatnya. Mereka umumnya cenderung lebih bebas berbuat ketimbang kelompok tua. Sementara itu secara politis kelompok tua umumnya bersifat moderat, sedangkan kelompok muda cenderung bersifat revolusioner.

Terpisahnya dua kelompok itu dapat memiliki makna postif maupun negatif dalam perkembangan masyarakat. Makna negatif akan muncul apabila salah satu atau kedua kelompok ini saling memaksakan kemauannya. Keterpisahan mereka akan bermakna positif apabila mereka saling menyadari dunianya masing-masing dan berusaha mengakomodasikan kehendaknya demi kemajuan masyarakat dan integrasi bangsanya.

Dalam peristiwa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia dikotomi antara kedua kelompok ini ternyata muncul dan merebak ke permukaan hingga sempat terjadi ketegangan di antara mereka. Ketegangan itu muncul sebagai akibat perbedaan pandangan tentang saat diumumkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketegangan tersebut bermula dari berita tentang menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat (unconditional surrender). Hal ini diumumkan oleh Tenno Heika melalui radio. Kejadian itu jelas mengakibatkan pemerintah Jepang tidak dapat meneruskan janji atau usahanya mengenai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu soal terus atau tidaknya usaha mengenai kemerdekaan Indonesia tergantung sepenuhnya kepada para pemimpin bangsa Indonesia.

Sementara itu Sutan Sjahrir sebagai seorang yang mewakili dan selalu berhubungan dengan pemuda merasa gelisah karena telah mendengar melalui radio bahwa Jepang telah kalah dan memutuskan untuk menyerah pada Sekutu. Sjahrir termasuk tokoh pertama yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan oleh Sukarno-Hatta tanpa harus menunggu janji Jepang. Itulah sebabnya ketika mendengar kepulangan Bung Karno, Bung Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat dari Dalat (Saigon), maka ia segera datang ke rumah Bung Hatta. Adapun maksud kedatangannya adalah meminta kepada Bung Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus menunggu dari pemerintahan Jepang karena Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Namun Bung Hatta tidak dapat memenuhi permintaan Sutan Sjahrir dan untuk tidak mengecewakan, maka diajaknya ke rumah Bung Karno. Oleh Bung Hatta dijelaskan maksud kedatangan Sutan Sjahrir, namun Bung Karno belum dapat menerima maksud Sutan Sjahrir dengan alasan bahwa Bung Karno hanya bersedia melaksanakan proklamasi, jika telah diadakan pertemuan dengan anggota-anggota PPKI yang lain. Dengan demikian tidak menyimpang dari rencana sebelumnya yang telah disetujui oleh pemerintah Jepang. Selain itu Sukarno akan mencoba dulu untuk mencek kebenaran berita kekalahan Jepang tersebut sebelum mengadakan tindakan yang menentukan demi masa depan bangsanya.

Sikap Bung Karno dan Bung Hatta tersebut memang cukup beralasan karena jika proklamasi dilaksanakan di luar PPKI, maka Negara Indonesia Merdeka ini harus dipertahankan terhadap Sekutu (NICA) yang akan mendarat di Indonesia dan sekaligus tentara Jepang yang ingin mempertahankan jajahannya atas Indonesia, untuk menjaga status quo sebelum kedatangan Sekutu. Jadi dengan demikian Negara Indonesia Merdeka harus dipertahankan terhadap dua lawan sekaligus. Hal itu akan berlainan, jika proklamasi dilaksanakan di dalam konteks PPKI, karena Jepang tidak akan memusuhinya.

Sutan Sjahrir kemudian pergi ke Menteng Raya (markas para pemuda) dan di sana ia bertemu dengan para pemuda seperti: Sukarni, BM Diah, Sayuti Melik dan lain-lain. Kemudian dilaporkan apa yang baru terjadi di kediaman Bung Hatta dan Bung Karno. Mendengar berita itu kelompok muda menghendaki agar Sukarno, Hatta (golongan tua) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Menurut golongan muda, tidak seharusnya para pejuang kemerdekaan Indonesia menunggu-nunggu berita resmi dari Pemerintah Pendudukan Jepang. Bangsa Indonesia harus segera mengambil inisiatifnya sendiri untuk menentukan strategi mencapai kemerdekaan.

Golongan muda ini kemudian mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa jaman Jepang (pukul 20.00 Wib). Yang hadir antara lain Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Wikana, dan Alamsyah. Rapat itu dipimpin oleh Chaerul Saleh dengan menghasilkan keputusan tuntutan-tuntutan golongan pemuda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan kepada orang dan kerajaan lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus dan sebaliknya perlu mengadakan rundingan dengan Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi (Marwati Djonet, 1984: 80).

Setelah rapat dan mengadakan musyawarah, maka diambil keputusan untuk mendesak Bung Karno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya sehingga lepas dari Jepang. Yang mendapat kepercayaan dari teman-temanya untuk menemui Bung Karno adalah Wikana dan Darwis.

Oleh Wikana dan Darwis, hasil keputusan itu disampaikan kepada Bung Karno jam 22.30 waktu Jawa jaman Jepang (22.00 wib) di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur, No 56 Jakarta. Namun sampai saat itu Bung Karno belum bersedia melepaskan keterikatannya dengan Jepang, yang berarti belum bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa PPKI. Di sini terjadi perdebatan sengit antara Bung Karno dengan Wikana dan Darwis. Dalam perdebatan itu Wikana menuntut agar proklamasi dikumandangkan oleh Sukarno pada keesokan harinya. Tuntutan itu diikuti dengan ancaman bahwa jika tidak segera diproklamasikan kemerdekaan akan terjadi pertumpahan darah. Mendengar tekanan ini Sukarno menjadi marah dan melontarkan kata-kata yang kurang lebih sebagai berikut: "Ini leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepaskan tanggung jawab saya sebagai ketua PPKI" (Adam Malik, 1962: 35). Jawaban Bung Karno itu di luar dugaan dan sangat mengejutkan. Selain itu Bung Karno juga mempersilahkan golongan muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa dirinya (golongan tua). Meskipun demikian para pemuda tidak berani memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa Bung Karno dan Bung Hatta karena khawatir apa yang dilakukan tidak mendapat dukungan dari rakyat.

Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan antara kelompok tua dengan kelompok muda yang memiliki sifat, karakter, cara bergerak, dan dunianya sendiri-sendiri. Perbedaan pendapat itu tidak hanya berhenti pada adu argumentasi, tetapi juga sudah mengarah pada tindakan pemaksaan dari golongan muda terhadap golongan tua. Tentu saja semua itu demi kemerdekaan Indonesia. Melihat sikap Sukarno itu, maka para pemuda berdasarkan rapatnya yang terakhir pada pukul 00.30 waktu Jawa jaman Jepang (pukul 24.00 WIB) tanggal 16 Agustus 1945 di Asrama Baperpi , Cikini No 47, Jakarta, akan menculik Sukarno dan Hatta untuk di bawa ke luar kota. Keputusan tersebut diambil dalam rangka untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta agar tidak terpengaruh dari segala siasat Jepang. Di sinilah nampak sekali bahwa kebersamaan/persatuan sangat diperlukan dan hal ini sudah diperlihatkan oleh para pemuda yang tidak bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan pertimbangan bahwa apa yang dilaksanakan tanpa kebersamaan tidak akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, yang berarti akan mendatangkan perpecahan.

Dalam rangka menjauhkan atau "mengamankan" Ir Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dari segala pengaruh Jepang, maka penculikan Sukarno Hatta itu akhirnya dilakasanakan pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa jaman Jepang atau jam 06.00 waktu Jepang atau pukul 04.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Kedua tokoh ini kemudian diamankan dengan dibawa ke Rengasdengklok, sebuah kota Kawedanan di sebelah Jakarta Timur. Para pemuda yang membawa kedua tokoh tersebut terdiri dari Sukarni, Winoto Danu Asmoro, Abdurrahman dan Yusuf Kunto. Sesampainya di Rengasdengklok, maka untuk menjaga keselamatan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta diserahkan kepada Cudanco Subeno.

Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Sukarno-Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota Peta Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil, yakni masuk 15 km ke arah dalam dari Kedung Gede, Karawang pada jalan raya Jakarta-Cirebon. Dengan demikian akan dapat dilakukan deteksi dengan mudah terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang hendak datang ke Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta, maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah (Marwati, 1984).

Tujuan penculikan kedua tokoh ini selain untuk mengamankan mereka dari pengaruh Jepang, juga agar keduanya mau segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia terlepas dari segala kaitan dengan Jepang. Pada dasarnya Sukarno dan Mohammad Hatta tidak mau ditekan oleh anak-anak muda itu, sehingga mereka tidak mau memproklamasikan kemerdekaan dengan pertimbangan karena adanya tekanan tersebut. Dalam suatu pembicaraannya dengan Shodanco Singgih, Sukarno memang menyatakan kesediannya untuk mengadakan proklamasi segera setalah kembali ke Jakarta. Berdasarkan pemikiran Sukarno itu, Singgih pada tengah hari itu juga kembali ke Jakarta untuk menyampaikan rencana proklamasi kepada kawan-kawan pemuda lainnya.

Sementara itu di Jakarta telah terjadi kesepakatan antara golongan tua, yakni Ahkmad Subardjo dengan Wikana dari golongan muda untuk mengadakan proklamasi di Jakarta, yang mana Laksamana Tadashi Maeda bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu Jusuf Kunto dari fihak pemuda dan Subardjo yang diikuti sekretaris pribadinya, mbah Diro menuju ke Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno. Rombongan tiba pada pukul 17.30 WIB. Akhmad Subardjo memberi jaminan dengan taruhan nyawa kepada para pemuda bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12.00 WIB. Akhirnya Cudanco Subeno bersedia melepaskan Sukarno dan Hatta kembali ke Jakarta.

C. PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Mendengar terjadinya perbedaan pendapat antara golongan tua dan gongan muda sampai terjadinya peristiwa penculikan oleh golongan muda, Mr. Achmad Subardjo ikut prihatin. Sebagai orang Indonesia ia merasa terpanggil untuk mengusahakan agar proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dilaksanakan secepat mungkin. Namun sebelumnya perlu mempertemukan perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan pemuda. Untuk itu maka Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta harus kembali lebih dahulu dari Rengasdengklok ke Jakarta.

Setelah mendapat persetujuan dari para pemuda, maka rombongan yang terdiri dari Mr. Achmad Soebardjo, Sudiro (Mbah Diro) dan Yusuf Kunto segera berangkat menuju ke Rengasdengklok, tempat di mana Soekarno dan Mohammad Hatta diamankan oleh pemuda. Rombongan tiba di Rengasdengklok pada jam 19.30 (waktu Tokyo) atau 18.00 (waktu Jawa Jepang) atau 17.30 WIB dan bermaksud untuk menjemput dan segera membawa Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta pulang ke Jakarta. Perlu ditambahkan bahwa di samping Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta ikut serta adalah Fatmawati dan Guntur Soekarno Putra. Pada jam 01.00 (waktu Tokyo) atau 23.30 (waktu Jawa Jepang) atau 23.00 WIB rombongan yang membawa Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta itu tiba di Jakarta. Sementara itu Drs. Mohammad Hatta singgah sebentar ke rumahnya di Jl. Diponegoro 57, dan selanjutnya rombongan menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1.

Di tempat itulah pemuda-pemuda Indonesia dan golongan tua berkumpul menyusun teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Teks proklamasi itu dirumuskan oleh tiga orang pimpinan golongan tua yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Achmad Subardjo yang disaksikan oleh tiga orang pemuda yaitu Sukarni, B.M. Diah, dan Sudiro serta beberapa orang Jepang. Penulis klad naskah proklamasi itu ialah Ir. Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Achmad Subardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Setelah naskah proklamasi itu selesai ditulis dalam klad, maka kemudian Ir. Soekarno membacakannya di hadapan mereka yang hadir pada rapat di rumah Laksamana Maeda itu.

Sekarang timbulah masalah siapakah yang menandatangani naskah proklamasi itu. Ir. Soekarno menyarankan agar semua yang hadir menandatangani naskah proklamasi itu selaku "Wakil-wakil Bangsa Indonesia". Saran itu mendapat tantangan dari para pemuda. Kemudian Sukarni selaku salah seorang pimpinan pemuda mengusulkan, agar Soekarno-Hatta menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia. Usul itu diterima dengan suara bulat.

Selanjutnya Ir. Soekarno minta kepada Sayuti Melik untuk mengetik klad itu, dengan beberapa perubahan yang telah disetujui. Ada tiga perubahan, yakni kata "tempoh" diganti menjadi "tempo", sedangkan bagian akhir "Wakil-wakil bangsa Indonesia" diganti dengan "Atas nama bangsa Indonesia". Cara menulis tanggal diubah sedikit menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05". Naskah yang sudah selesai diketik itu kemudian ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di rumah itu juga. Bunyi naskah itu sebagaimana disalin oleh Nugroho Notosusanto, 1985) selengkapnya adalah sebagai berikut:

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnya.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta

(tanda tangan Soekarno)                (tanda tangan Hatta)

Menurut rencana pembacaan teks proklamasi akan dilaksanakan di lapangan Ikada, namun karena sesuatu hal rencana itu tidak dapat dilaksanakan dan akhirnya pada jam 12.00 (waktu Tokyo) atau 10.30 (waktu Jawa Jepang) atau jam 10.00 WIB teks tersebut di atas dibacakan oleh Ir. Soekarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Adapun jalannya upacara adalah sebagai berikut:
  1. Ir. Soekarno tampil ke muka micropon satu-satunya untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebelum teks proklamasi kemerdekaan dibacakan didahului dengan pidato pendahuluan yang singkat oleh Soekarno.
  2. Acara dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh S. Suhud dan Cudanco Latief Hendraningrat. Bendera kemudian dinaikkan secara perlahan-lahan dengan diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh para hadirin secara spontan (Marwati Djonet, 1984: 92).


Peristiwa besar tersebut hanya berlangsung lebih kurang satu jam lamanya. Namun demikian pengaruhnya besar sekali, sebab peristiwa tersebut telah membawa perubahan yang luar biasa dalam kehidupan bangsa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu bukan hanya sebagai tanda bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah merdeka, tetapi di sisi lain juga merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan bagi tertib hukum nasional, suatu tertib hukum Indonesia.

Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang berabad-abad lamanya dan dengan didorong oleh Amanat Penderitaan Rakyat telah mencapai titik kulminasinya pada detik Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan itu merupakan salah satu sarana untuk merealisasikan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, serta untuk ikut membentuk "dunia baru" yang damai dan abadi, bebas dari segala penghisapan manusia oleh manusia dan bangsa oleh bangsa lain.

Untuk mewujudkan tujuan proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut, maka secepatnya yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera bersidang untuk mengesahkan: (a). Pembukaan UUD 1945, dan (b). UUD 1945, serta (c). Memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sidang dilanjutkan pada hari berikutnya, yaitu tanggal 19 Agustus 1945. Dari sidang hari kedua ini telah menghasilkan beberapa keputusan penting tentang: (a) pembagian wilayah Republik Indonesia yang terbagi atas 8 (delapan) propinsi beserta para calon gubernurnya, (b) adanya Komite Nasional (Daerah). Selain itu rapat juga memutuskan adanya 12 (duabelas) departemen dan satu menteri negara.

D. MAKNA PROKLAMASI

Menurut kalimat-kalimat yang terdapat di dalamnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berisi suatu pernyataan kemerdekaan yang memberi tahu kepada b angsa Indonesia sendiri dan kepada dunia luar, bahwa pada saat itu bangsa Indonesia telah merdeka, lepas dari penjajahan. Kepada bangsa lain kita beritahukan bahwa kemerdekaan kita tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh dihalang-halangi. Bangsa Indonesia benar-benar telah siap untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah di proklamasikannya itu, demikian juga siap untuk mempertahankan negara yang baru didirikan tersebut. Hal itu ditunjukkan oleh kalimat pertama pada naskah proklamasi yang berbunyi: "Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia". Kalimat tersebut merupakan pernyataan, sedangkan kalimat kedua merupakan amanat; seperti yang dinyatakan dalam kalimat berikut yaitu bahwa: "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".

Kalimat dalam naskah proklamasi tersebut sangat singkat, hanya terdiri atas dua kalimat atau alinea, namun amat jelas, mengingat pembuatannya dilakukan dalam suasana eksplosip dan harus segera selesai secara cepat pula. Hal ini justru menunjukkan kelebihan dan ketajaman pemikiran dari para pembuatnya pada waktu itu.

Dalam kalimat kedua itu dikandung maksud agar pemindahan atau perebutan kekuasaan pemerintahan, kekuasaan atas lembaga-lembaga negara, kekuasaan di bidang senjata dan lain-lain hendaknya kita lakukan dengan hati-hati, penuh perhitungan untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah secara besar-besaran. Namun tugas itu semua hendaknya dilakukan secepatnya sebelum tentara Sekutu mendarat di Indonesia, untuk menerima penyerahan Indonesia dari tangan Jepang. Dan secara nyata, sebelum tentara Sekutu yaitu AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) tiba bangsa Indonesia sudah selesai menjalankan amanat proklamasi tersebut, sehingga kedatangan Sekutu tanggal 29 September 1945 telah menyaksikan berdirinya suatu negara Republik Indonesia yang merdeka. Hal itulah yang mendorong Panglima Pasukan Sekutu untuk Indonesia (AFNEI), Letnan Jendral Sir Philip Christison memberikan pernyataan pada tanggal 1 Oktober 1945, yang dapat dipandang sebagai pengakuan secara de facto terhadap pemerintahan Republik Indonesia.
Makna atau arti penting dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dapat dipandang dari berbagai segi. Apabila ditelaah, maka Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu mengandung beberapa aspek:
  1. dari sudut Ilmu Hukum, maka proklamasi atau pernyataan yang berisikan keputusan bangsa Indonesia telah menghapuskan tata hukum kolonial untuk pada saat itu juga digantikan dengan tata hukum nasional (Indonesia).
  2. dari sudut politik-ideologis, maka proklamasi atau pernyataan yang berisikan keputusan bangsa Indonesia telah berhasil melepaskan diri dari segala belenggu penjajahan dan sekaligus membangun perumahan baru, yaitu perumahan Negara Proklamasi Republik Indonesia yang bebas, merdeka dan berdaulat penuh.

Mr. Muhammad Yamin (1959) dalam bukunya Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, antara lain mengatakan Proklamasi Kemerdekaan ialah suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan dan kebahagiaan rakyat. Proklamasi menjadi dasar untuk meruntuhkan segala hal yang mendukung kolonialisme, imperialisme dan selain itu proklamasi adalah dasar untuk membangun segala hal yang berhubungan langsung dengan kemerdekaan nasional. Peraturan negara sejak 17 Agustus 1945 bersumber kepada kemerdekaan. Kemerdekaan itu sendiri dipancarkan oleh proklamasi. Jadi proklamasi kemerdekaan adalah sumber daripada segala peraturan hukum nasional yakni UUD 1945. Proklamasi kemerdekaan menjadi dasar peraturan negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga dapat dipandang sebagai puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Perjuangan rakyat tersebut telah mengorbankan harta benda, darah dan jiwa yang berlangsung sudah sejak berabad-abad lamanya untuk membangun persatuan dan kesatuan dan merebut kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah. Proklamasi 17 Agustus 1945 juga merupakan mercusuar yang menerangi dan menunjukkan jalannya sejarah, pemberi inspirasi dan motivasi dalam perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia di semua lapangan di setiap keadaan.

Pada akhirnya, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bertujuan untuk kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Agar kita bahagia, antara lain harus ada kesamaan di antara kita semua meliputi berbagai bidang misalnya bidang ideologi, bidang politik, bidang ekonomi, bidang hukum, bidang sastra kebudayaan, pendidikan, dan lain-lain.

Dengan berhasil diproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka bangsa dan negara Indonesia telah lahir sebagai bangsa dan negara yang merdeka, baik secara de facto maupun secara de jure. Dalam peristiwa ini memang kadang-kadang terjadi permasalahan. Sejak kapan negara Indonesia berdiri, tanggal 17 ataukah 18 Agustus 1945, mengingat pengesahan UUD 1945 dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam hal ini kita bukan menganut teori hukum murni, melainkan teori keputusan

yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bukti dapat dikutip kembali pidato Bung Karno dalam pidato proklamasinya antara lain menyatakan bahwa: "Kita sekarang telah merdeka. Tidak satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi Insya' Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu. Adapun yang bertugas membentuk negara Indonesia adalah PPKI. Hal itu terbukti dari pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: "PPKI mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia".


DAFTAR PUSTAKA

Adam Malik. 1962. Riwayat Perjuangan Sekitar Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945. Jakarta: Wijaya.

Kahin, George McTurnan. 1980. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terj. Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pengajaran Malaysia.

Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustka.

Mohammad Hatta. 1970. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tinta Mas.

Onghokham.1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia.

Nugroho Notosusanto. 1985. Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang Otentik. Jakarta: Balai Pustaka.

Raliby, Osman. 1953. Documenta Historica I. Jakarta: Bulan Bintang.

Utomo, Cahyo Budi. 1995. Dinamika pergerakan Kebangsaan Indonesia. Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Yamin, Muhammad. 1959. Naskah Persiapan Undang Undang dasar 1945.